Agama Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini,[a] dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म),[b] artinya "darma abadi" atau "jalan abadi"[11] yang melampaui asal mula manusia.[12] Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.
Para ahli dari Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis
dari berbagai tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang
beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, "sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas[13]), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan jati diri bangsa India.
Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut sadu
(orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem
daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan
duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar") dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur Hindu.[14] Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti, dan Agama (semuanya tergolong Smerti).[14]
Etimologi
Dalam teks berbahasa Arab, al-Hind adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suku bangsa di suatu daerah yang kini disebut India, sedangkan 'Hindu' atau 'Hindoo' digunakan sejak akhir abad ke-18 dan seterusnya oleh orang Inggris untuk menyebut penduduk 'Hindustan', yaitu bangsa di sebelah barat daya India. Akhirnya, 'Hindu' menjadi istilah padanan bagi 'orang India' yang bukan Muslim, Sikh, Jaina, atau Kristen,
sehingga mencakup berbagai penganut dan pelaksana kepercayaan
tradisional yang berbeda-beda. Akhiran '-isme' ditambahkan pada kata
Hindu sekitar tahun 1830-an untuk merujuk pada kebudayaan dan agama kasta brahmana
yang berlainan dengan agama lainnya, dan kemudian istilah tersebut
diterima oleh orang India sendiri dalam hal membangun jati diri bangsa
untuk menentang kolonialisme, meski istilah 'Hindu' pernah dicantumkan dalam babad berbahasa Sanskerta dan Bengali sebagai antonim bagi 'Yawana' atau Muslim, sekitar awal abad ke-16.
— Gavin Flood, An Introduction to Hinduism.[16]
Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu nama sebuah sungai di sebelah barat daya subbenua India, yang dalam bahasa Inggris disebut Indus.[16][c] Menurut Gavin Flood,
pada mulanya istilah 'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa
Persia untuk menyebut suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindu.[16] Maka dari itu, awalnya istilah 'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.
Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Europa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar sungai Sindu.[19] Istilah Arab tersebut berasal istilah Persia Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-13, Hindustan muncul sebagai nama alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti "Negeri para Hindu".[20]
Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, kr. 1450) dan beberapa teks mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali, seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata. Istilah itu digunakan untuk membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha.[21] Sejak abad ke-18 dan seterusnya, istilah Hindu digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut agama tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli India.
Definisi
Studi tentang India beserta kebudayaan dan agamanya—demikian pula definisi "Hinduisme"—telah dibentuk oleh minat kolonialisme, serta gagasan orang Barat tentang agama tersebut.[22][23] Sejak 1990-an, pengaruh-pengaruh beserta dampaknya telah menjadi topik perdebatan di kalangan ahli Hindu,[22] dan turut dicampuri oleh kritik-kritik terhadap India menurut pandangan Barat.[24]
Karena istilah tersebut melingkupi berbagai tradisi dan gagasan yang
luas, maka sulit untuk memperoleh definisi yang komprehensif.[16] Tanpa keseragaman, Hinduisme didefinisikan sebagai agama, tradisi keagamaan, dan seperangkat kepercayaan religius.[25]
Pengaruh kolonial
Gagasan untuk sebuah sebutan umum bagi beberapa aliran kepercayaan dan tradisi di India sudah mendapat perhatian sejak abad ke-12.[26][27] Gagasan "Hinduisme" sebagai "tradisi keagamaan dunia yang tunggal" dipopulerkan pada abad ke-19 oleh Indolog Eropa yang mengacu kepada "kasta-kasta brahmana" sebagai informasi mereka tentang agama-agama di India.[28]
Hal ini mengacu pada suatu kecenderungan untuk menegaskan sastra dan
keyakinan terhadap Weda sebagai "esensi" bagi praktik keagamaan Hindu
pada umumnya, serta bagi hubungan 'doktrin Hindu' masa kini dengan
berbagai perguruan Wedanta (khususnya Adwaita Wedanta).[23]
Kolonialisme telah menjadi faktor signifikan dalam pengaruh kasta brahmana
dan "brahmanisasi" dalam masyarakat Hindu. Adat kaum brahmana juga
memengaruhi pengertian Hinduisme di mata orang Eropa. Kaum brahmana
melestarikan kitab-kitab Hindu yang kemudian diteliti oleh orang-orang
Eropa. Kewenangan kitab-kitab tersebut telah menjadi sasaran penelitian
orang Eropa. Penetapan basis-basis tekstual agama Hindu oleh kaum
orientalis Eropa didasari oleh kecenderungan untuk mengacu kepada
otoritas tertulis daripada otoritas lisan. Kaum brahmana dan ilmuwan
Eropa memiliki persepsi yang sama tentang "suatu deklinasi umum dari
sebuah agama yang mulanya murni".[22]
Pendapat orang Hindu
Menurut Sarvepalli Radhakrishnan, "Hinduisme tidak sekadar keyakinan. Ia adalah gabungan antara penalaran dan intuisi yang tak dapat didefinisikan, namun hanya bisa dirasakan."[29]
Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah jalan hidup tradisional.[30] Banyak penganutnya yang menyebut Hinduisme sebagai Sanātana-dharma, artinya "darma yang abadi" atau "jalan yang abadi".[11]
Istilah ini mengacu kepada kewajiban "abadi" yang harus dijalankan oleh
seluruh umat Hindu—tanpa memandang derajat, kasta, atau
sekte/aliran—seperti kejujuran, tidak menyakiti makhluk hidup, menjaga
kesucian, berniat baik, pemaaf, bersabar, mengendalikan nafsu,
mengendalikan diri sendiri, murah hati, dan bertafakur. Ini berbeda
dengan swadarma, artinya "darma seseorang", yaitu kewajiban yang harus dijalankan sesuai aliran yang diikuti dan tingkatan kehidupan.[31]
Menurut Kim Knott, perihal darma ini mengacu pada gagasan bahwa
sumbernya melampaui sejarah umat manusia, dan kebenarannya disampaikan
oleh Tuhan (Sruti) serta diwariskan dari zaman ke zaman, hingga masa kini, dalam suatu kumpulan kitab tertua di dunia, yaitu Weda.[12]
Menurut Encyclopædia Britannica:
Pada masa kini, istilah [Sanatana-dharma] itu pun digunakan oleh para pemuka, reformis, dan nasionalis Hindu untuk menyebut Hinduisme sebagai suatu agama dunia yang bersatu. Maka dari itu, Sanatana-dharma menjadi sinonim bagi kebenaran dan ajaran Hindu yang "abadi", yang kemudian dipahami bahwa tidak hanya transenden bagi sejarah dan tak berubah-ubah, namun juga tak terbagi-bagi dan pada pokoknya bukanlah sektarian.[d][31]
Sebagai tanggapan atas kolonialisme dan orientalisme Barat, para pemuka dan ahli Hindu menginterpretasikan agamanya dalam suatu upaya yang disebut "modernisme Hindu" oleh orang Barat. Tokoh terkemuka dalam upaya tersebut adalah Swami Vivekananda, Sarvepalli Radhakrishnan, dan Mahatma Gandhi.[32]
Menurut Gavin Flood, Vivekanda (1863–1902) adalah tokoh penting dalam
pengembangan pemahaman diri umat Hindu masa kini dan telah merumuskan
pandangan terhadap Hinduisme bagi orang Barat.[33] Intisari dalam filsafatnya adalah gagasan bahwa "percikan dari Tuhan" berada dalam setiap makhluk hidup,
sehingga seluruh umat manusia dapat mencapai persatuan dengan "sifat
ilahi bawaan" tersebut, dan dengan memandang bahwa sifat ilahi ini juga
terkandung pada setiap orang maka berkembanglah kasih sayang dan harmoni
sosial.[34]
Menurut Flood, pandangan Vivekananda terhadap Hinduisme adalah yang
paling umum diterima oleh kebanyakan umat Hindu golongan menengah
berbahasa Inggris (English-speaking middle-class Hindus) pada masa kini.[35]
Sarvepalli Radhakrishnan adalah salah satu cendekiawan terpelajar dari India yang bergelut dengan filsafat Barat dan India.[36] Ia mencari keselarasan antara rasionalisme barat dengan Hinduisme, dan memperkenalkan Hinduisme sebagai pengalaman religius yang pada hakikatnya rasional dan humanistis.[37][e] Wawasan Radhakrishnan disebut sangat relevan dan penting dalam membentuk jati diri Hindu kontemporer.[37]
Pendapat orang Barat
Monier-Williams (1819–1899), Profesor Sastra Sanskerta dan Indolog terawal, berpendapat bahwa "berawal dari Weda,
Hinduisme telah merangkul berbagai bentuk kepercayaan, dan menyajikan
fase yang cocok bagi berbagai pikiran. Paham tersebut begitu toleran,
rendah hati, komprehensif, dan menerima [berbagai bentuk tradisi]."[f]
Toleransi
agama Hindu terhadap aneka ragam aliran kepercayaan dan tradisi yang
berbeda-beda membuatnya sulit untuk didefinisikan sebagai suatu agama
menurut pemahaman tradisional orang Barat.[41]
Dalam sejumlah kajian didapati bahwa agama Hindu dapat dipandang
sebagai suatu kategori dengan "batas-batas yang kabur", daripada suatu
lembaga yang tegar dan terdefinisikan dengan baik. Beberapa aktivitas
keagamaan Hindu dapat dipandang sebagai hal yang lazim dalam agama
tersebut, sementara yang tak lazim pun masih dapat dimasukkan ke dalam
kategori agama Hindu. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut,
Ferro-Luzzi menulis suatu 'pendekatan Teori Prototipe' untuk
mendefinisikan Hinduisme.[42]
Menurut Flood, globalisasi kebudayaan Hindu diprakarsai oleh Swami Vivekananda dengan mendirikan Misi Ramakrishna,
dan diikuti oleh para pemuka Hindu lainnya, yang membawa ajaran yang
menjadi kekuatan kultural penting dalam masyarakat Barat, dan sebagai
akibatnya menjadi kekuatan kultural penting di India, tempat ajaran itu
bermula.[43]
Hinduisme Global tersebut menarik minat di seluruh dunia, melampaui
batas-batas nasional, dan telah menjadikannya suatu agama dunia yang
berdampingan dengan Kekristenan, Islam, dan Buddhisme, bagi komunitas Hindu seluruh dunia maupun orang-orang Barat yang tertarik dengan kebudayaan dan kepercayaan non-Barat.[44]
Agama ini menekankan nilai-nilai spiritual universal seperti keadilan
sosial, kedamaian, serta "transformasi spiritual umat manusia."[44] Sebagian perkembangannya disebabkan oleh "re-enkulturasi" atau efek Pizza,
yaitu suatu kondisi ketika unsur-unsur kebudayaan Hindu diperkenalkan
ke Dunia Barat, lalu mendapatkan popularitas di sana, dan sebagai
akibatnya juga mendapatkan popularitas yang lebih besar di India.[45]
Karakteristik
Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka memang demikian berbeda.[46] Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat lebih teistik.
Sebagian besar sekte dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam
semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang memanifestasikan diri
dalam berbagai wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia merupakan bagian dari Brahman.
Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang misteri
Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal atau pun impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos
yang jumlahnya tidak habis-habisnya, serta melalui penyelidikan
filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan melalui
praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha).
Akar Hinduisme
Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu telah menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat.
Sebelumnya, tidak ada istilah 'Hinduisme' atau 'agama Hindu', tetapi
keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah berpangkal sejak
purbakala.[47]
Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena ketiadaan
seorang tokoh pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang
Hinduisme sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang
ada di India.[48][49][50] Salah satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi,[51][49] yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan peradaban Harrapa.[52] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu meliputi Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta kebudayaan mesolitik dan neolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai Indus,[53][54][55] tradisi bangsa Dravida,[56] serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di India.[57]
Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan kr. 300 M,[48] pada permulaan periode "Wiracarita dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul[48] (masa ketika dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul di bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.[58] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, kitab-kitab Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang pada Dharmasastra dan Smerti). Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh berdampingan,[59] sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[60][61]
Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India Selatan dan sebagian Asia Tenggara.[62] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan: pengadaan pemukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;[63][64] dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut dalam Weda) yang populer;[65][66] dan proses Sanskritisasi,
yaitu kondisi ketika "orang-orang dari berbagai strata masyarakat India
cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan sosial mereka dengan
norma-norma Brahmanis".[65][67] Proses asimilasi tersebut menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung persamaan konseptual.[68]
Keanekaragaman
Diversitas Hinduisme |
---|
|
|
|
|
|
Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang
memiliki "sifat kompleks, bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala
inkonsisten secara internal."[69] Agama Hindu tidak mengenal "satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan keyakinan atau iman",[16] namun menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi keagamaan di India.[70][71] Menurut Mahkamah Agung India:
Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu tidak mengklaim satu nabi saja, tidak memuja satu dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, tidak mengikuti atau mengadakan satu ritus keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri [agama Hindu] itu tidak seperti agama atau kepercayaan lain pada umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama [Hindu] itu merupakan suatu jalan hidup.[g][72][73]
Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah
"agama Hindu" adalah adanya fakta bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh
seorang tokoh.[16][74] Agama ini merupakan sintesis dari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda tetapi memiliki persamaan.[48][50]
Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran bersifat monoteisme—mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa—sementara aliran lainnya bersifat monisme, yang memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan manifestasi beragam dari Yang Maha Esa.[75] Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam semesta, namun alam semesta bukanlah Tuhan.[76] Beberapa filsafat Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan) tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari "keselamatan" (salvation),[16] namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi keagamaan.[77]
Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting
demi keselamatan, namun berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga
hadir secara berdampingan. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya
kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma,
dan gagasan tentang "keselamatan" adalah kondisi saat individu terbebas
dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Berdasarkan hal-hal
tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling
kompleks dari seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.[78]
Persamaan
Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam Hinduisme.[79] Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental dalam tubuh Hinduisme, yang mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk pelaksanaannya.[34] Pada umumnya, umat Hindu mengenal berbagai nama dan gelar seperti Wisnu, Siwa, Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara.
Beberapa aliran memandang nama dan gelar tersebut sebagai aneka
manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang Mahakuasa, sehingga agama Hindu
dapat dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi,
yang dipandang tidak setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa
aliran juga memandangnya sebagai manifestasi dari Yang Mahakuasa.[75] Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme—adalah iman tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak (darma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang disebut Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya.[80] Sekte Hindu seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, namun masih memiliki kepercayaan akan Siwa.[81] Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu Ammanai,[82] namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan Hinduisme—contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau Narayana dan Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa
(Saiwisme). Dilihat dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki
konsep tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass,
meskipun aliran Saiwa dan Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran
keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan saling acu antara para
teoretikus dan pujangga dari masing-masing tradisi yang mengindikasikan
adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang
sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar [kepercayaan] secara
umum.[79]
Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal dari Upanishad, wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum."[26] Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga digarisbawahi oleh Burley.[83] Hacker menyebut perihal tersebut sebagai "inklusivisme",[84] dan Michaels berpendapat tentang "sifat identifikasi diri".[85] Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu,[86] dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan kaum Hindu dengan kaum Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[87] Menurut Michaels:
Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi yang berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu: pembentukan sekte-sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa berikutnya … Para orang suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti pujangga Maratha [bernama] Tukaram (1609–1649) dan Ramdas (1608–1681), menyuarakan gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada masa lampau. Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah, terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang berbagai subjek.[h][88]
Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan reformasi Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.
Penggolongan
Agama Hindu sebagaimana biasanya dapat digolongkan ke dalam beberapa
mazhab atau aliran besar. Dalam suatu kelompok mazhab pada masa
lalu—yang digolongkan sebagai "enam darsana"—hanya dua mazhab yang popularitasnya masih bertahan: Wedanta dan Yoga. Golongan-golongan utama Hinduisme pada masa kini disesuaikan dengan aliran-aliran besar yang ada: Waisnawa (Waisnawisme), Saiwa (Saiwisme), Sakta (Saktisme), dan Smarta (Smartisme).[89]
Enam tipe umum
Menurut J. McDaniel, ada enam tipe umum dalam tubuh agama Hindu, yang
disusun dengan maksud menampung berbagai pandangan terhadap suatu
subjek yang kompleks. Adapun enam tipe tersebut sebagai berikut:[90]
- Agama Hindu rakyat, yaitu agama Hindu yang berdasarkan pada tradisi masyarakat setempat serta pemujaan dewa-dewi lokal, seperti Hindu Tamil, Hindu Newa, Hindu Bali, Hindu Manipuri, Hindu Kaharingan, dan lain-lain. Berpangkal dari masa prasejarah atau setidaknya mendahului penulisan Weda.[90]
- Srauta atau Agama Hindu Weda, dilaksanakan oleh kaum brahmana-tradisional yang disebut srautin.
- Agama Hindu Wedanta, yaitu agama Hindu yang mengacu pada filsafat Wedanta, meliputi Adwaita Wedanta (Smarta), dan menekankan pendekatan filosofis pada kitab-kitab Upanishad.
- Agama Hindu Yoga, yaitu sekte yang menitikberatkan pelaksanaan yoga menurut Yogasutra Patanjali.
- Agama Hindu Dharma atau agama "moralitas sehari-hari", yaitu Hinduisme yang berdasarkan pada realisasi karma dan pelaksanaan norma kemasyarakatan seperti wiwaha (adat pernikahan Hindu).
- Bhakti, yaitu agama Hindu yang menekankan pelaksanaan kebaktian bagi entitas tertentu, seperti Kresna, Siwa, Ganesa.
Religi dan religiositas Hindu
Menurut Axel Michaels, ada tiga bentuk religi (agama) Hindu dan empat macam religiositas (pengabdian) umat Hindu.[77]
Pembagian agama Hindu menjadi tiga bentuk bersuaian dengan metode
pembagian dari India yang mengelompokkannya sebagai berikut: praktik
ritual menurut Weda (vaidika), agama rakyat dan lokal (gramya), dan sekte keagamaan (agama atau tantra).[91] Menurut Michaels, tiga bentuk agama Hindu yakni:
- Hinduisme Brahmanis-Sanskritis (Brahmanic-Sanskritic Hinduism): suatu agama politeistis, ritualistis, dan kependetaan yang berpusat pada suatu keluarga besar serta upacara pengorbanan, dan merujuk kepada kitab-kitab Weda sebagai keabsahannya.[77] Agama ini mendapat sorotan utama dalam banyak risalah tentang agama Hindu karena memenuhi banyak kriteria untuk disebut sebagai agama, serta karena agama ini merupakan yang dominan di berbagai wilayah India, sebab masyarakat non-brahmana pun mencoba untuk mengasimilasinya.[77]
- Agama rakyat dan agama suku: suatu agama lokal yang politeistis, kadangkala animistis, dengan tradisi lisan yang luas. Kadangkala bertentangan dengan Hinduisme Brahmanis-Sanskritis.[92]
- Agama bentukan: tradisi dengan komunitas monastis yang dibentuk untuk mencari keselamatan (salvation), biasanya menjauhkan diri dari belenggu duniawi, dan seringkali anti-Brahmanis.[77] Agama ini dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian:
- Agama sektarian: aliran keagamaan yang menggarisbawahi suatu konsep filosofis dari Hinduisme dan menekankan praktik religius menurut konsep tersebut, contohnya Waisnawa dan Saiwa.[92]
- Agama-bentukan sinkretis: agama tersendiri yang terbentuk dari sinkretisme antara Hinduisme dengan agama lain, contohnya Hindu-Islam (Sikhisme), Hindu-Buddha (Buddhisme Newara), atau Hindu-Kristen (Neohinduisme).[92]
- Agama proselitisis (proselytizing religions), atau "Guru-isme": kelompok keagamaan yang berawal dari seorang guru dan biasanya menekankan isu universalisme, contohnya Maharishi Mahesh Yogi dengan gerakan Meditasi Transendental, Sathya Sai Baba dengan Federasi Satya Sai, Bhaktivedanta Swami Prabhupada dengan gerakan ISKCON, Maharaj Ji dengan Divine Light Mission, dan Osho.[92]
Menurut Michaels, empat macam religiositas Hindu yakni:
- Ritualisme: terutama mengacu pada ritualisme Weda-Brahmanistis (Vedic-Brahmanistic ritualism) yang domestik dan butuh kurban, namun dapat juga meliputi beberapa bentuk Tantrisme.[91] Ini merupakan karma-marga klasik.[93]
- Spiritualisme: kesalehan intelektual, bertujuan untuk mencari kebebasan (moksa) bagi individu, biasanya dengan bimbingan seorang guru. Ini merupakan karakteristik Adwaita Wedanta, Saiwa Kashmir, Saiwa Siddhanta, Neo-Wedanta, Guruisme esoterik masa kini, dan beberapa macam Tantrisme.[91] Ini merupakan jnana-marga klasik.[93]
- Devosionalisme: pemujaan kepada Tuhan, seperti yang ditekankan dalam tradisi bhakti dan Kresnaisme.[91] Ini merupakan bhakti-marga klasik.[93]
- Heroisme: bentuk religiositas politeistis yang berpangkal dari tradisi militeristis, seperti Ramaisme dan sebagian dari Hinduisme politis.[91] Ini juga disebut wirya-marga.[93]
Toleransi
Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Swami Vivekananda sebagai perwakilan India mengawali pidatonya dengan salam "Sisters and brothers of America!" dan mendapatkan sambutan yang hangat.[94]
Ia memperkenalkan Hinduisme sebagai agama yang mengajarkan toleransi dan bersikap sangat terbuka.[95]
Ia memperkenalkan Hinduisme sebagai agama yang mengajarkan toleransi dan bersikap sangat terbuka.[95]
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran karena tiadanya skisma meskipun ada kemajemukan tradisi yang bernaung di bawah simbol-simbol agama Hindu.[96][97]
Pada awal perkembangannya, saat tiadanya perselisihan antaragama, umat
Hindu menganggap setiap orang yang mereka temui sebagai umat Hindu pula.[98][99] Tetapi pada masa kini, umat Hindu menerima pengaruh dari Barat tentang pengadaan konversi agama.[100] Maka, banyak umat Hindu berpendapat bahwa identitas kehinduan diperoleh semenjak lahir,[101] sementara yang lainnya berpendapat bahwa siapa pun yang mengikuti kepercayaan dan praktik agama Hindu merupakan seorang Hindu.[102]
Gandhi menyatakan bahwa Hinduisme bebas dari dogma-dogma yang memaksa, serta dapat menampung berbagai bentuk ekspresi diri dalam ruang lingkup yang besar.[103]
Dalam tubuh agama Hindu, perbedaan pada setiap tradisi—bahkan pada
agama lain—tidak untuk diperkarakan, karena ada keyakinan bahwa setiap
orang memuja Tuhan yang sama dengan nama yang berbeda, entah disadari
atau tidak oleh umat bersangkutan.[104] Dalam kitab Regweda terdapat suatu bait yang sering dikutip oleh umat Hindu untuk menegaskan hal tersebut, sebagai berikut:
एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति (Ekam Sat Viprāh Bahudhā Vadanti)
Arti: "Hanya ada satu kebenaran, tetapi para cendekiawan menyebut-Nya dengan banyak nama." (I:CLXIV:46)
Agama Hindu memandang seluruh dunia sebagai suatu keluarga besar yang
mengagungkan satu kebenaran yang sama, sehingga agama tersebut
menghargai segala bentuk keyakinan dan tidak mempersoalkan perbedaan
agama.[105] Maka dari itu, agama Hindu tidak mengakui konsep murtad, bidah, dan penghujatan.[96][106][107] Agama Hindu bersifat mendukung pluralisme agama
dan lebih menekankan harmoni dalam kehidupan antar-umat beragama,
dengan tetap mengindahkan bahwa tiap agama memiliki perbedaan mutlak
yang tak patut diperselisihkan.[108] Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda,
setiap orang tidak hanya patut menghargai agama lain, namun juga
merangkulnya dengan pikiran yang baik, dan kebenaran itulah yang
merupakan dasar bagi setiap agama.[109]
Dalam agama Hindu, toleransi beragama tidak hanya ditujukan pada umat
agama lain, namun juga pada umat Hindu sendiri. Hal ini terkait dengan
keberadaan beragam tradisi dalam tubuh Hinduisme. Agama Hindu memberikan
jaminan kebebasan bagi para penganutnya untuk memilih suatu pemahaman
dan melakukan tata cara persembahyangan tertentu.[97][110][111] Sebuah sloka dalam Bhagawadgita sering dikutip untuk mendukung pernyataan tersebut:
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah.
Arti: Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai Arjuna (Bhagawadgita, IV:11)
Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Vivekananda
juga mengutip suatu ayat yang menyatakan bahwa setiap orang menempuh
jalan yang berbeda-beda dalam memuja Tuhan, sebagaimana berbagai aliran
sungai pada akhirnya menyatu di lautan.[95]
Hinduisme tidak mengandalkan otoritas berdasarkan doktrin sentral seperti kredo, rukun iman, atau syahadat.[112]
Meskipun tradisi Hindu tidak seragam, banyak umat Hindu yang tidak mau
mengakui dirinya sebagai penganut aliran atau sekte Hindu tertentu.[112]
Pada umumnya, aliran dibedakan berdasarkan pada dewa yang dipuja
sebagai manifestasi Yang Mahakuasa, serta pada tradisi mengenai cara
pemujaan dewa tersebut.
Ada empat aliran utama yang sering teramati: Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta.[113] Umat Waisnawa memuja Wisnu sebagai manifestasi Yang Mahakuasa; umat Saiwa memuja Siwa sebagai manifestasi Yang Mahakuasa; umat Sakta memuja Sakti (kekuatan) atau Dewi yang dipersonifikasikan sebagai wanita ilahi; sedangkan Smarta meyakini kesatuan mendasar dari lima (Pancadewa) atau enam (Shanmata) dewa sebagai personifikasi dari Yang Mahakuasa. Aliran lainnya seperti Ganapatya (pemujaan terhadap Ganesa) dan Saura (pemujaan terhadap Surya) kurang menyebar secara luas.
Sejumlah gerakan keagamaan terkategorikan ke dalam salah satu aliran besar Hinduisme, contohnya Gerakan Hare Krishna terkategorikan ke dalam golongan Waisnawa. Ada pula gerakan keagamaan Hindu yang sukar ditentukan untuk dimasukkan ke dalam golongan yang disebutkan di atas, contohnya Arya Samaj yang diprakarsai Swami Dayananda Saraswati. Gerakan keagamaan ini berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya, yaitu tidak memuja Tuhan dengan sarana arca atau lukisan. Gerakan ini berfokus kepada Weda dan yadnya (yajña; ritus keagamaan berdasarkan Weda).
Di samping empat aliran besar dalam agama Hindu, sekte-sekte keagamaan yang ada meliputi Ayyavazhi, Swaminarayana, Ravidassia, Linggayata,
dan lain-lain. Beberapa sekte memiliki konsep, mitologi, serta pustaka
suci tersendiri yang berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya.
Sekte-sekte tertentu pun memiliki aliran di dalamnya, misalnya tradisi Tantra.[114]
Menurut sistem astika dan nastika, ada sembilan filsafat India klasik. Enam di antaranya merupakan filsafat Hindu klasik (astika) yang mengakui otoritas Weda sebagai kitab suci. Tiga filsafat lainnya merupakan aliran heterodoks (nastika) yang tidak mengakui otoritas Weda, namun menekankan tradisi perguruan yang berbeda. Adapun enam filsafat Hindu tersebut sebagai berikut:
- Samkhya: mazhab filsafat yang—dipercaya secara tradisional—digagas oleh Resi Kapila. Mazhab ini dianggap sebagai salah satu mazhab filsafat tertua di India.[115] Mazhab ini bersifat dualisme.[116][117][118] Menurut Samkhya, alam semesta terdiri dari dua realitas: purusa (kesadaran) dan prakerti (materi). Jiwa adalah kondisi saat purusa terikat pada prakriti karena suatu "perekat" yang disebut kehendak, dan akhir dari ikatan itu disebut moksa. Samkhya menolak bahwa sumber segalanya adalah Iswara (Tuhan).[119] Samkhya tidak mendeskripsikan apa yang terjadi setelah moksa, dan tidak menyinggung apa pun yang berkaitan dengan Iswara atau Tuhan, karena filsafat ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan esensial antara purusa individu dengan alam semesta setelah mencapai moksa.
- Yoga: mazhab yang menekankan pada pengendalian diri dan pikiran. Mazhab Yoga menerima psikologi dan metafisika yang diajarkan Samkhya, namun bersifat lebih teistis daripada Samkhya, karena ditambahkannya entitas ketuhanan pada 25 elemen realitas menurut Samkhya.[120] Mazhab ini digagas oleh Resi Patanjali. Yoga menurut Patanjali dikenal sebagai Rajayoga, yaitu suatu sistem untuk mengontrol pikiran.[121] Berbagai tradisi Yoga didapati dalam agama Hindu, Buddha, dan Jaina.[122] Para guru dari India memperkenalkan Yoga ke Dunia Barat,[123] mengikuti keberhasilan Vivekananda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[123] Pada tahun 1980-an, salah satu jenis Yoga menjadi populer sebagai suatu sistem latihan jasmani di Dunia Barat. Bentuk Yoga semacam itu disebut Hathayoga.
- Nyaya: mazhab logika dalam Hinduisme. Mazhab spekulasi filosofis ini berdasarkan kitab-kitab yang disebut Nyayasutra, ditulis oleh Aksapada Gautama pada abad ke-2 Masehi.[124] Kontribusi signifikan dari mazhab Nyaya adalah metodologi untuk membuktikan keberadaan Tuhan, menurut kitab Weda. Menurut mazhab Nyaya, ada empat sumber untuk memperoleh pengetahuan (pramana): persepsi, inferensi, perbandingan, dan testimoni. Pengetahuan yang diperoleh melalui masing-masing sumber tersebut bisa saja sahih atau tidak. Sebagai dampaknya, para filsuf Nyaya berusaha keras untuk mencari cara membuktikan kesahihan pengetahuan melalui sejumlah bagan penjelasan.
- Waisesika: mazhab atomisme dalam Hinduisme yang menyatakan suatu postulat bahwa segala benda di alam semesta dapat dibagi-bagi menjadi sejumlah atom. Mazhab ini mulanya digagas oleh Resi Kanada sekitar abad ke-2 Masehi.[125] Secara historis, mazhab ini dikaitkan erat dengan Nyaya. Meskipun sistem Waisesika dan Nyaya berkembang secara mandiri, keduanya bergabung karena teori-teori metafisis yang memiliki keterkaitan. Akan tetapi, dalam bentuknya yang klasik, ajaran Waisesika berbeda dengan Nyaya, karena Nyaya mengakui empat sumber pengetahuan, sementara Waisesika hanya mengakui persepsi dan inferensi.
- Mimamsa: mazhab yang kajian utamanya adalah sifat-sifat darma berdasarkan hermeneutika pada kitab-kitab Weda. Sifat-sifat darma tidak dapat diakses untuk penalaran atau pengamatan, sehingga harus dikaji melalui otoritas wahyu-wahyu yang dikandung dalam Weda, yang diyakini kekal, tanpa pengarang (apauruṣeyatva), dan sempurna.[126] Mazhab Mimamsa mengandung doktrin yang ateistis maupun teistis dan tidak terlalu tertarik pada keberadaan Tuhan, namun pada karakteristik darma.[127][128] Mimamsa sangat memerhatikan penafsiran tekstual, sehingga memberi rintisan pada kajian filologi dan filsafat bahasa. Gagasannya tentang "tuturan" (śabda) sebagai kesatuan suara dan makna (penanda dan petanda) yang tak dapat dibagi lagi dipengaruhi oleh Bhartṛhari (kr. abad ke-5).[129]
- Wedanta: mazhab yang berfokus pada kajian tentang tiga sastra dasar dalam filsafat Hindu, yaitu Upanishad, Brahmasutra, dan Bhagawadgita.[130] Sekurang-kurangnya, ada sepuluh aliran dalam mazhab Wedanta,[131] namun tiga di antaranya—Adwaita, Wisistadwaita, dan Dwaita—lebih termasyhur.[132]
- Adwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Adi Shankara (awal abad ke-8) dan guru besarnya, Gaudapada, yang menjabarkan Ajatiwada. Menurut perguruan ini, Brahman adalah satu-satunya kenyataan, sedangkan dunia yang teramati hanyalah ilusi belaka. Karena Brahman adalah kenyataan sejati, Ia tidak dapat dikatakan memiliki atribut. Kekuatan ilusif dari Brahman yang disebut maya (māyā) membuat dunia ini tampak ada. Ketidaktahuan akan kenyataan tersebut merupakan penyebab adanya penderitaan di dunia, sehingga kebebasan (dari penderitaan) hanya bisa diperoleh melalui kesadaran akan Brahman. Ketika seseorang mencoba memahami Brahman melalui pikirannya, maka—karena pengaruh maya—Brahman hadir sebagai Tuhan berkepribadian (Iswara), yang berbeda dengan dunia dan juga individu. Pada kenyataannya, tiada perbedaan antara esensi individu yang sejati (jiwatman) dengan Brahman. Kebebasan dapat diperoleh dengan merasakan bahwa tiada perbedaan antara keduanya. Maka dari itu, jalan kebebasan ditempuh dengan pengetahuan (jñāna).[133]
- Wisistadwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Ramanuja (1017–1137). Menurut perguruan ini, jiwatman adalah bagian dari Brahman, sehingga mereka mirip, tetapi tidak sama. Menurut Wisistadwaita, Brahman dinyatakan memiliki atribut (Saguna-brahman), termasuk materi dan jiwa kesadaran individu. Brahman, materi, dan jiwa individu tidaklah sama tetapi merupakan entitas yang tidak terpisahkan. Perguruan ini menegaskan Bhakti atau pengabdian kepada Tuhan—yang dibayangkan sebagai Wisnu—sebagai jalan untuk mencapai kebebasan (moksa). Dalam perguruan ini, maya dipandang sebagai daya cipta dari Tuhan.[133]
- Dwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Madhwacarya (1199–1278). Perguruan ini juga disebut sebagai tatvavādā – "Filsafat Kenyataan". Perguruan ini menyamakan Tuhan dengan Brahman, sehingga tiada berbeda dengan Wisnu atau pun berbagai perwujudan-Nya seperti Kresna, Narasinga, Wenkateswara, dan lain-lain. Perguruan ini memandang Brahman, jiwa individu, dan materi sebagai entitas yang berbeda. Perguruan ini menekankan Bhakti sebagai jalan yang benar untuk mencapai kebebasan, dan pengabaian akan Tuhan akan berujung pada neraka serta ikatan duniawi. Menurut Dwaita, segala tindakan diberdayakan oleh jiwa yang diberi kekuatan oleh Tuhan, dan hasil tindakan tersebut dilimpahkan kepada jiwa, namun Tuhan tidak ikut terpengaruh oleh hasil tindakan tersebut.[133]
Dalam sejarah agama Hindu, keberadaan enam mazhab tersebut di atas mencapai masa gemilang pada masa Dinasti Gupta.
Dengan bubarnya Waisesika dan Mimamsa, perguruan filsafat tersebut
kehilangan pamornya pada masa-masa berikutnya, sedangkan berbagai
aliran-aliran Wedanta mulai naik pamor sebagai cabang-cabang utama dalam
filsafat keagamaan. Nyaya bertahan sampai abad ke-17 dan berganti nama menjadi Nawya-nyaya ("Nyaya Baru"), sedangkan Samkhya lenyap perlahan-lahan, namun ajarannya diserap oleh Yoga dan Wedanta.
Empat aliran utama
Kegiatan umat Waisnawa di Polandia, dalam rangka mengisi acara Przystanek Woodstock 2012.
Empat aliran utama yang sering didapati adalah Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta. Dalam masing-masing aliran, ada beberapa perguruan atau aliran lain yang menempuh caranya sendiri.
- Waisnawa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Wisnu—dewa pemelihara menurut konsep Trimurti (Tritunggal)—beserta sepuluh perwujudannya (awatara). Aliran ini menekankan pada kebaktian, dan para pengikutnya turut memuja berbagai dewa, termasuk Rama dan Kresna yang diyakini sebagai perwujudan Wisnu. Pengikut aliran ini biasanya non-asketis, monastis (mengikuti cara hidup biarawan), dan menekuni praktik meditasi serta melantunkan lagu-lagu pemujaan.[134][135][136] Biasanya umat Waisnawa bersifat dualisme. Aliran ini memiliki banyak tokoh suci, kuil, dan kitab suci.[137] Aliran ini terbagi dalam beberapa golongan, yaitu: Sri Sampradaya (Waisnawa yang memuja Laksmi sebagai pasangan Wisnu), Brahma Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu secara eksklusif), Rudra Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu atau para awatara, seperti Kresna, Rama, Balarama, dan lain-lain), Kumara Sampradaya (Waisnawa yang memuja Caturkumara).
- Saiwa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Siwa. Kadangkala Siwa digambarkan sebagai Bhairawa yang menyeramkan. Umat Saiwa lebih tertarik pada tapa brata daripada umat Hindu aliran lainnya, dan biasa ditemui berkeliaran di India dengan wajah yang dilumuri abu dan melakukan ritual penyucian diri.[134][135][136] Mereka bersembahyang di kuil dan melakukan yoga, berjuang untuk dapat menyatukan diri dengan Siwa.[137] Aliran ini terbagi dalam beberapa golongan, yaitu: Pasupata (Saiwa yang menekankan tapa brata, terutama tersebar di Gujarat, Kashmir, dan Nepal), Saiwa Siddhanta (Saiwa yang mendapat pengaruh Tantra), Kashmira Saiwadarshana (Saiwa yang monistis dan idealistis), Natha Siddha Siddhanta (Saiwa yang monistis), Linggayata (Saiwa yang monoteistis), Saiwa Adwaita (Saiwa yang monistis dan teistis).
- Sakta: aliran Hinduisme yang memuja Sakti atau Dewi. Pengikut Saktisme meyakini Sakti sebagai kekuatan yang mendasari prinsip-prinsip maskulinitas, yang dipersonifikasikan sebagai pasangan dewa. Sakti diyakini memiliki berbagai wujud. Beberapa di antaranya tampak ramah, seperti Parwati (pasangan Siwa) atau Laksmi (pasangan Wisnu). Yang lainnya tampak menakutkan, seperti Kali atau Durga. Sakta memiliki kaitan dekat dengan Hinduisme Tantra, yang mengajarkan ritual dan praktik untuk penyucian pikiran dan tubuh.[134][135][136] Umat Sakta menggunakan mantra-mantra, sihir, gambar sakral, yoga, dan upacara untuk memanggil kekuatan kosmis.[137] Aliran ini mengandung dua golongan utama, yaitu: Srikula (pemujaan kepada dewi-dewi yang bergelar Sri) dan Kalikula (pemujaan kepada dewi-dewi perwujudan Kali).
- Smarta: aliran Hindu-monistis yang memuja lebih dari satu dewa—meliputi Siwa, Wisnu, Sakti, Ganesa, dan Surya di antara dewa dan dewi lainnya—tetapi menganggap bahwa dewa-dewi tersebut merupakan manifestasi dari zat yang Maha Esa. Dibandingkan tiga aliran Hinduisme yang disebutkan di atas, Smarta berusia relatif muda. Berbeda dengan Waisnawa atau Saiwa, aliran ini tidak bersifat sektarian secara gamblang, dan berdasarkan pada iman bahwa Brahman adalah asas tertinggi di alam semesta dan meresap ke dalam segala sesuatu yang ada.[134][135][136] Pada umumnya, umat Smarta memuja Yang Mahakuasa dalam enam personifikasi: Ganesa, Siwa, Sakti, Wisnu, Surya, dan Skanda. Karena umat Smarta menerima keberadaan dewa-dewi Hindu yang utama, mereka dikenal sebagai umat liberal atau non-sektarian. Mereka mengikuti praktik-praktik filosofis dan meditasi, serta menekankan persatuan antara individu dengan Tuhan melalui kesadaran.[137]
Sekte dan aliran lainnya
Tari topeng Nyetamaru Ajima, salah satu ritus keagamaan Hindu Newa di Nepal.
- Agama Hindu Newa: agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar suku Newa di Nepal. Agama Hindu ini mengenal beberapa tradisi unik seperti tarian sakral dengan topeng yang disebut Chachaa Pyakhan. Agama Hindu ini juga mengenal sejumlah hari raya, dan ada kalanya bertepatan dengan perayaan Buddhis di sana.
- Agama Hindu Nusantara: tradisi serta kepercayaan masyarakat Indonesia yang telah mengalami akulturasi/berasimilasi dengan konsep-konsep Hindu dari India, sehingga membentuk suatu tradisi Hindu yang unik, contohnya Hindu Jawa dan Hindu Bali. Karena sikap lembaga Hindu yang terbuka, beberapa kepercayaan asli Nusantara pun diakui sebagai bagian dari agama Hindu Nusantara sehingga mendapatkan label Hindu, contohnya Hindu Kaharingan dan Hindu Tollotang.
- Agama Hindu Swaminarayana: agama yang dianut oleh sebagian besar orang Hindu Gujarat.[138] Pengikut Hindu Swaminarayana memuja Wisnu atau Kresna sebagai Tuhan sehingga sering dianggap sebagai salah satu aliran dalam Waisnawa. Tetapi—tidak seperti aliran Waisnawa pada umumnya—Hindu Swaminarayana tidak membedakan Wisnu dan Siwa. Aliran ini menggunakan pemahaman sebagaimana aliran Smarta bahwa para dewa adalah manifestasi dari Brahman.[139][140]
- Agama tradisional Punjab: kepercayaan tradisional yang dianut sebagian masyarakat Punjab. Menurut kepercayaan ini, dunia terbagi menjadi tiga alam: alam dewa, manusia, dan naga. Penganut kepercayaan ini melakukan penghormatan terhadap leluhur. Leluhur, yang menjadi moyang suatu keluarga atau pendiri suatu desa, disebut jathera. Mereka dimuliakan di kuil-kuil khusus.
- Ayyavazhi: sistem kepercayaan monistis berdasarkan darma yang berasal dari India Selatan. Aliran ini dikatakan sebagai agama tersendiri oleh media massa dan beberapa penganutnya, tetapi banyak penganutnya yang mengaku sebagai umat Hindu, sehingga Ayyavazhi juga dianggap sebagai sekte Hindu.[141][142] Ayyavazhi berpusat pada ajaran dan khotbah Ayya Vaikundar; gagasan dan filosofi mereka berdasarkan kitab Akilattirattu Ammanai dan Arul Nool. Ayyavazhi memiliki banyak kesamaan dengan Hinduisme dalam hal mitologi dan praktik, namun memiliki perbedaan dalam konsep baik dan buruk, serta perbedaan pandangan tentang darma.
- Balmiki: sekte yang memuja Begawan Walmiki sebagai leluhur dan dewa mereka. Pengikutnya meyakini bahwa Walmiki adalah awatara Tuhan, dan menghormati karya-karya gubahannya, seperti Ramayana dan Yoga Vasistha, sebagai kitab suci.
- Ekasarana Dharma: aliran Hindu-panenteistis yang dirintis oleh Srimanta Sankardeva pada abad ke-15. Kini, banyak penganutnya yang tinggal di negara bagian Assam. Aliran kepercayaan ini menolak upacara dan ritus berbasis Weda, menentang pelaksanaan kurban hewan, dan hanya melakukan pemujaan dengan menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Kitab pegangan bagi aliran ini adalah Sankardewa Bhagawata. Aliran kepercayaan ini terbagi menjadi empat golongan: Brahma-sanghati, Purusha-sanghati, Nika-sanghati, dan Kala-sanghati.
Tarian tradisional saat festival Lai Haroaba yang dirayakan umat Hindu Manipur.
- Ganapatya: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Ganesa sebagai Tuhan Yang Mahakuasa. Ganesa dipuja sebagai bagian dari Saiwa sejak sekitar abad ke-5. Sekte Ganapatya mulai muncul sekitar abad ke-6 dan ke-9. Kemudian, sekte ini dipopulerkan oleh Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya mulai masyhur antara abad ke-17 dan ke-19 di Maharashtra.
- Kapadi Sampradaya: aliran dan tradisi Hinduisme yang dianut sebagian masyarakat kesatria di Gujarat, terutama di Kutch. Pengikut tradisi ini memuja Rama sebagai Tuhan Yang Mahakuasa. Kepercayaan ini terbagi menjadi empat golongan: Ramsnehi, Ashapuri, Sravani, dan Makadbantha.
- Kaumaram: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Murugan atau Skanda di kawasan India Selatan, terutama yang didominasi oleh suku Tamil. Tradisi tersebut juga dapat ditemui di luar India, khususnya di kawasan pemukiman imigran Tamil.
- Mahima Dharma: sekte Hinduisme yang penganutnya banyak terdapat di Orissa, India. Sekte ini diprakarsai oleh seorang guru spiritual yang dikenal dengan nama Mahima Swami atau Mahima Gosain.[143] Sekte ini memusatkan kebaktian pada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Alekha, serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana arca, gambar, atau pun pratima.[143]
- Pranami Sampradaya: disebut pula Nijananda Sampradaya, adalah suatu aliran monoteistis yang memuja Tuhan dengan sebutan Raj Ji atau Prannath Ji. Pengikut kepercayaan ini tidak diperkenankan makan daging, mengonsumsi alkohol, atau merokok. Mereka juga memiliki kitab tersendiri yang disebut Kuljam Swarup atau Tartam Sagar. Pengikut kepercayaan ini banyak terdapat di Najarpur, Nepal.
- Ravidassia: sistem kepercayaan monoteistis berdasarkan ajaran Guru Ravidass, tokoh yang dikenal oleh umat Hindu atau pun Sikh. Umat Ravidassia meyakini bahwa Ravidass adalah guru spiritual, sedangkan umat Sikh menganggapnya sebagai bhagat (orang suci).[144] Ajaran Ravidassia merupakan cabang dari gerakan Bhakti yang muncul di India sejak abad ke-15. Ravidassia mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan yang disebut Hari, dan tujuan kehidupan adalah mencapai moksa, yaitu bertemu dengan Hari.
- Saura: sekte Hinduisme yang memuja Surya sebagai Saguna-brahman. Aliran ini berpangkal dari tradisi Weda kuno. Kini, hanya ada sedikit penganut aliran ini di India.
- Srauta: golongan brahmana ortodoks yang mengikuti Purwamimamsa, berbeda dengan Wedanta yang diikuti oleh kaum brahmana lainnya. Mereka merupakan penganut tradisi ritual konservatif dan membentuk golongan minoritas di antara umat Hindu di India. Penganut aliran ini biasanya terdapat di negara bagian Kerala (kaum Nambudiri) dan Karnataka (Mattur, Holenarsipur, Sringeri).
Gerakan keagamaan
Pengikut Gerakan Hare Krishna di Rusia menyelenggarakan prosesi Rathayatra pada musim dingin 2011.
Beberapa gerakan Hindu modern muncul di India pada periode antara abad ke-18 dan ke-20, antara lain sebagai berikut:
- Brahmoisme: gerakan keagamaan yang berasal dari Benggala pada awal abad ke-19. Gerakan ini didirikan oleh Ram Mohan Roy. Dia menggagas pentingnya pemanfaatan nalar untuk mereformasi praktik sosial dan religius agama Hindu, dengan pengaruh dari agama monoteistis dan ilmu pengetahuan modern.[145] Brahmoisme menolak dogma, takhayul, otoritas kitab suci, dan penggambaran Tuhan.[146]
- Prarthana Samaj: gerakan reformasi sosial dan keagamaan yang dimulai di Bombay, didirikan oleh Dr. Atmaram Pandurang pada tahun 1867 dengan tujuan agar masyarakat meyakini satu Tuhan dan hanya menyembah satu Tuhan. Gerakan ini dimulai sebagai reformasi sosial dan keagamaan sebagaimana Brahmo Samaj. Perintis Prarthana Samaj di Mumbai adalah Paramahamsa Sabha, perkumpulan rahasia untuk memajukan gagasan-gagasan liberal yang didirikan oleh Ram Balkrishna Jaykar.[147]
- Arya Samaj: gerakan reformasi Hindu yang diprakarsai oleh Swami Dayananda, dan didirikan pada tanggal 7 April 1875.[148] Gerakan ini bermaksud mengamalkan Weda sebagaimana mestinya, dan mengesampingkan kitab-kitab yang ditulis setelah Weda. Gerakan ini bersifat monoteistis karena tidak mengakui dewa-dewi tertentu,[149] serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana patung atau lukisan.[150][151]
- Misi Ramakrishna: gerakan filantropis dan sukarela yang diprakarsai oleh murid Ramakrishna, Swami Vivekananda, pada tanggal 1 Mei 1897. Gerakan ini berfokus pada masalah kemanusiaan seperti pemeliharaan kesehatan, bencana alam, kesejahteraan masyarakat desa, pendidikan, dan lain-lain. Misi gerakan ini berdasarkan konsep Karmayoga.[152] Dalil-dalil yang digunakan adalah filsafat Wedanta.[153]
- Masyarakat Internasional Kesadaran Krishna (The International Society for Krishna Consciousness – ISKCON): gerakan keagamaan berdasarkan tradisi Gaudiya Waisnawa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama "Gerakan Hare Krishna", didirikan pada tahun 1966 di New York City oleh A. C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Ajarannya berpegang pada Bhagawadgita dan Srimad Bhagawatam. Gerakan ini didirikan untuk menyebarkan Bhaktiyoga dan memuja Tuhan dengan wujud Kresna.
Di luar Asia Selatan dan Asia Tenggara, aliran Hindu yang cukup populer adalah tradisi Waisnawa yang dibawa oleh misionaris Gerakan Hare Krishna. Tradisi Hindu juga dilaksanakan di beberapa negara dengan jumlah imigran India yang signifikan, seperti Mauritius (Afrika bagian selatan) dan Trinidad dan Tobago (Amerika Tengah).
Keyakinan
Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci.[47]
Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai
tradisi Hindu. Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan
masyarakat Hindu—namun tidak untuk terbatas pada beberapa hal
tersebut—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa (dapat disebut
sebagai Iswara, Awatara, Dewata, Batara, dan lain-lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).[154]
Konsep ketuhanan
Agama Hindu memiliki konsep Nirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau Tuhan impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi yang berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan dengan nama Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan), contohnya Saraswati (gambar).
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme.[155][156][157][158] Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Kadangkala agama Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui keberadaan para dewa), namun istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.[159]
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan keberadaan Tuhan.[160] Nyaya merupakan suatu perguruan logika,
sehingga menarik kesimpulan "logis" bahwa [keberadaan] alam semesta
hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab" di balik
semuanya.[161]
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.[162] Tetapi, umat Hindu tidak menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli Weda, sehingga mereka disebut brahmana.[163] Kadangkala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman, maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan yang berkepribadian (memiliki guna
atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat baik manusia
seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya),
sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara,
dan lain-lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu
pada umumnya, Tuhan yang dipandang sebagai zat mahakuasa dengan
supremasi dari sifat baik manusia—daripada dianggap sebagai asas semesta
yang tak terbatas—disebut Iswara, Bhagawan, atau Parameswara.[164] Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita.[165] Dalam banyak tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadangkala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh nama-nama ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya, dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.[166] Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya,
atau kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat
dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti pelindung, penyayang,
perawat, pengasih, dan sebagainya.[167] Menurut mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya.[167]
Mazhab ini menegaskan bahwa tiada larangan untuk membayangkan Tuhan
dengan sifat-sifat tertentu, namun tujuan hidup sejati adalah untuk
merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya
tiada berbeda dengan Brahman.[168] Mazhab Adwaita dapat dikatakan sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, namun pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.[169]
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa.[170] Dalam kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui.[171]
Samkhya berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber
bagi dunia yang senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan
gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu keadaan.[172] Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual dan ortopraksi—menyatakan
bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Aliran
ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu
"pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara.[127] Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk keperluan mantra
belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya
merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan
mantra belaka.[173]
Atman dan jiwa
Diagram yang menunjukkan lapisan penyelubung atman:
• annamayakosa (lapisan badan kasar yang mengandung daging dan kulit)
• pranamayakosa (lapisan tenaga kehidupan)
• manomayakosa (lapisan pikiran atau indera yang menerima rangsangan)
• wijanamayakosa (lapisan nalar, akal budi, atau kecerdasan)
• anandamayakosa (lapisan kebahagiaan atau tubuh kausal)
• annamayakosa (lapisan badan kasar yang mengandung daging dan kulit)
• pranamayakosa (lapisan tenaga kehidupan)
• manomayakosa (lapisan pikiran atau indera yang menerima rangsangan)
• wijanamayakosa (lapisan nalar, akal budi, atau kecerdasan)
• anandamayakosa (lapisan kebahagiaan atau tubuh kausal)
Dalam agama Hindu terdapat keyakinan bahwa ada "sesuatu yang sejati" dalam tiap individu yang disebut atman, sifatnya abadi atau tidak terhancurkan.[174] Taittiriya-upanishad mendeskripsikan bahwa atman individu diselimuti oleh lima lapisan: annamayakosa, pranamayakosa, manomayakosa, wijanamayakosa, dan anandamayakosa.[175]
Istilah atman dan jiwa kadangkala dipakai untuk konteks yang sama.
Dalam suatu pengertian, atman adalah percikan dari Brahman, sedangkan
jiwa adalah penggerak segala makhluk hidup.[176]
Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), sukma individu sama sekali tiada berbeda dari Brahman. Sukma individu disebut jiwatman, sedangkan Brahman disebut paramatman. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.[165] Ketika tubuh individu hancur, jiwa tidak turut hancur. Sebaliknya, ia berpindah ke tubuh baru melalui reinkarnasi (samsara). Jiwa mengalaminya karena diselubungi oleh awidya
atau "ketidaksadaran" bahwa dirinya sesungguhnya sama dengan
Paramatman. Tujuan kehidupan menurut mazhab Adwaita adalah untuk
mencapai kesadaran bahwa atman sesungguhnya sama dengan Brahman.[177] Kitab Upanishad
menyatakan bahwa siapa pun yang merasakan bahwa atman merupakan esensi
dari tiap individu, maka ia akan menyadari kesetaraan dengan Brahman,
sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan dari proses reinkarnasi/samsara).[178]
Yoga dari Resi Patanjali—sebagaimana yang diuraikan dalam Yogasutra—berbeda dengan monisme yang diuraikan dalam filsafat Adwaita.[179]
Menurut yoga, pencapaian spiritual tertinggi bukanlah untuk menyadari
bahwa segala kemajemukan di alam semesta merupakan maya. Jati diri yang
diperoleh saat mencapai pengalaman religius tertinggi bukanlah atman
belaka. Itu hanyalah salah satu jati diri yang ditemukan oleh individu.
Meruntuhkan "tembok alam sadar manusia" untuk membangun "persatuan" jati
diri individu (jiwatman) dengan sukma alam semesta (paramatman), merupakan tujuan praktik yoga.[180]
Menurut pemahaman dualistis seperti mazhab Dwaita, jiwa merupakan entitas yang berbeda dengan Tuhan, namun memiliki kesamaan. Jiwa bergantung kepada Tuhan, sedangkan pencapaian moksa (lepas dari samsara) bergantung kepada cinta pada Tuhan serta kasih sayang Tuhan.[181]
Para dewa dan awatara
Lukisan dari akhir abad ke-18, menggambarkan tiga dewa utama Hinduisme—Brahma, Wisnu, dan Siwa—beserta sakti (pasangan) masing-masing.
Umat dari berbagai sekte agama Hindu memuja dewa-dewi tertentu yang
tak terhitung banyaknya dan mengikuti aneka upacara untuk memuja
dewa-dewi tersebut. Karena merupakan agama Hindu, maka para penganutnya
memandang kekayaan tradisi tersebut sebagai ungkapan dari suatu realitas
yang kekal. Dewa-dewi yang memanggul senjata dipahami oleh umatnya
sebagai simbol-simbol dari suatu realitas sejati yang tunggal.
— Brandon Toropov & Luke Buckles, The Complete Idiot's Guide to World Religions.[182]
Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang disebut dewa (atau dewi dalam bentuk feminin, sedangkan dewata bersinonim dengan dewa), bermakna "yang bersinar", atau dapat diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi".[183][184] Para dewa merupakan bagian integral dalam kebudayaan Hindu dan ditampilkan dalam kesenian (lukisan, patung, relief), arsitektur, dan ikon. Cerita mitologis mengenai keberadaan mereka terkandung dalam sejumlah sastra Hindu, terutama wiracarita Hindu dan Purana.
Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai manifestasi dari Brahman.[i] Pustaka Weda dan Upanishad tidak mengajarkan panteisme atau pun politeisme, melainkan monoteisme dan monisme.[186] Ada banyak dewa, namun mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari suatu "kenyataan sejati".[186] Keberadaan konsep monisme dan monoteisme berjalin-jalin. Dalam banyak sloka, kenyataan sejati dikatakan imanen, sedangkan dalam sloka lainnya dikatakan transenden.[187]
Secara monisme, kenyataan sejati tersebut adalah Brahman, sedangkan
pandangan monoteisme lebih berfokus pada wujud-wujud beratribut (Saguna) dari Brahman.[187]
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara
(Tuhan Yang Maha Esa), meskipun banyak umat Hindu menyembah Iswara
dalam suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada Tuhan yang berbeda)
sebagai istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu) dari Tuhan yang cenderung dipuja.[188][189] Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang atau menurut tradisi regional dan keluarga.[190]
Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa atau dewata, dan Purana menjelaskan bahwa sebagian di antaranya merupakan para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan merupakan murid dari Wrehaspati. Menurut mitologi Hindu dalam Purana, sebelum memperoleh keabadian melalui tirta amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan makhluk yang berseteru dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran. Kekuatan dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi—Brahma, Wisnu, Siwa.
Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa karena kemasyhuran mereka dalam kitab suci dan pemujaan.[191] Mereka berdua, beserta Brahma, dipandang sebagai Trimurti—tiga aspek dari Yang Mahakuasa. Ketiga aspek tersebut melambangkan seluruh siklus samsara
menurut agama Hindu: Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pelindung
atau pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur. Dua di antara tiga dewa
tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki pengikut dengan jumlah banyak
sehingga membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan Saiwa) dalam tubuh agama Hindu. Dalam kajian tentang Trimurti, Sir William Jones menyatakan bahwa umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga wujud: Wisnu, Siwa, Brahma … Gagasan fundamental agama Hindu, bahwa metamorfosis, atau transformasi, dicontohkan melalui [konsep] awatara."[192]
Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama Hindu memiliki peran penting
sebagaimana Trimurti dan berfungsi sebagai pasangan bagi Trimurti.
Brahma adalah Sang Pencipta, sehingga ia membutuhkan pengetahuan atau
Dewi Saraswati. Wisnu adalah Sang Pelindung, sehingga ia membutuhkan kemakmuran, yang dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri). Sedangkan Siwa adalah Sang Pelebur, sehingga ia membutuhkan Dewi Parwati, Durga, atau Kali sebagai kekuatannya. Para dewi tersebut adalah manifestasi dari satu entitas, yaitu Sakti.
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah
tentang turunnya Tuhan ke dunia (inkarnasi) dalam wujud fana demi
menegakkan di masyarakat dan menuntun manusia mencapai moksa. Inkarnasi
itu disebut pula awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan perwujudan Wisnu, meliputi Rama (tokoh utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting dalam Mahabharata).
Karma dan reinkarnasi
Karma diterjemahkan secara harfiah sebagai tindakan, kerja, perbuatan,[193] dan dapat dideskripsikan sebagai "hukum moral sebab–akibat".[194]
Menurut hukum karma, nasib baik berasal dari tindakan baik terdahulu,
dan nasib buruk berasal dari tindakan buruk terdahulu, yang merupakan
suatu sistem aksi-reaksi dan membentuk suatu siklus reinkarnasi.[195]
Fenomena sebab-akibat tersebut tidak hanya berlaku bagi dunia material,
namun juga terhadap pikiran, perkataan, tindakan, dan tindakan yang
dilakukan berdasarkan perintah seseorang.[196]
Menurut kitab Upanishad, suatu jiwa membentuk sanskara (kesan) dari tindakan, baik secara fisik atau mental. Linga-sarira
(tubuh yang lebih halus daripada tubuh fisik namun lebih kasar daripada
jiwa) dilekati kesan-kesan tersebut, dan membawanya ke kehidupan
selanjutnya, sehingga menciptakan jalan kehidupan tersendiri bagi setiap
orang.[197] Maka dari itu, konsep karma—yang universal, netral, dan tak pernah meleset—berkaitan dengan reinkarnasi, demikian pula kepribadian, watak, dan keluarga seseorang. Karma menyatukan konsep kehendak bebas dan nasib.
Karena agama Hindu meyakini bahwa jiwa tidak dapat dihancurkan,[198] maka kematian tidak dipandang sebagai momok bagi kehidupan karena merupakan fenomena alami.[199]
Maka dari itu, seseorang yang sudah meninggalkan ambisi dan
keinginannya, tidak memiliki tanggung jawab lagi di dunia, atau
terjangkiti penyakit mematikan dapat mengusahakan kematian dengan cara Prayopavesa.[200]
Siklus aksi, reaksi, kelahiran, kematian, dan kelahiran adalah proses berkesinambungan yang disebut samsara (reinkarnasi). Pemahaman akan reinkarnasi dan karma merupakan premis kuat dalam filsafat Hindu. Dalam kitab Bhagawadgita (II:22) tertulis:
- Seperti halnya seseorang memakai baju baru dan menanggalkan baju yang lama,
- demikian pula jiwa memasuki tubuh yang baru, meninggalkan tubuh yang lama.
Dalam kepercayaan Hindu, samsara memberikan kesempatan bagi manusia
untuk menikmati kesenangan sesaat pada setiap kelahiran. Selama manusia
terlena untuk terus menikmati kesenangan tersebut, maka mereka akan
dilahirkan kembali. Akan tetapi, pelepasan diri dari belenggu samsara
(melalui moksa) diyakini dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian abadi.[201]
Menurut kepercayaan ini, setelah mengalami reinkarnasi berkali-kali,
pada akhirnya suatu atman akan mencari persatuan dengan sukma alam
semesta (Brahman/Paramatman).
Dalam agama Hindu, tujuan hidup sejati—yang disebut sebagai moksa, nirwana, atau semadi—dipahami
dalam berbagai arti: realisasi penyatuan jiwa dengan Tuhan; realisasi
hubungan kekal dengan Tuhan; realisasi dari penyatuan seluruh hal yang
ada; wawas diri sempurna serta pengetahuan akan diri yang sejati;
pencapaian atas kedamaian batin yang sempurna; dan pelepasan dari segala
keinginan duniawi. Realisasi semacam itu membebaskan seseorang dari
samsara dan mengakhiri siklus lahir kembali.[202][203]
Konseptualisasi moksa berbeda-beda tergantung mazhab atau aliran Hinduisme. Sebagai contoh, mazhab Adwaita Wedanta
berpedoman bahwa setelah mencapai moksa, atman tidak lagi mengenali
dirinya sebagai individu, melainkan menyadari bahwa Brahman identik
dalam segala hal, termasuk kesamaannya dengan atman. Pengikut mazhab Dwaita
(dualistis) memandang individu sebagai bagian dari Brahman, dan setelah
mencapai moksa, mereka yakin akan memperoleh kekekalan di loka bersama dengan manifestasi Iswara yang dipilihnya. Maka dari itu, dianalogikan bahwa pengikut dwaita berharap untuk "menikmati gula", sementara pengikut Adwaita berharap untuk "menjadi gula".[204]
Tujuan hidup manusia
Filsafat Hindu klasik mengakui empat hal yang harus dipenuhi sebagai
tujuan hidup manusia—sebagaimana dijabarkan di bawah ini—yang disebut purusarta:
- Darma: Darma adalah prinsip yang tak boleh diabaikan oleh umat Hindu. Darma dapat dipandang sebagai kewajiban (dalam hal kegiatan duniawi atau pun rohani), hukum, keadilan, tindakan benar, dan berbagai kualitas yang mendukung harmoni segala sesuatu. Brihadaranyaka-upanishad memandang darma sebagai prinsip universal—tentang aturan, kewajiban, dan harmoni—yang berasal dari Brahman. Darma berlaku sebagai prinsip moral bagi alam semesta. Darma merupakan sat (kebenaran), ajaran pokok dalam agama Hindu. Hal ini berpangkal pada pernyataan dalam Regweda bahwa "Ekam Sat," (Kebenaran Hanya Satu), dari keyakinan bahwa Brahman itu sendiri merupakan "Satcitananda" (Kebenaran-Kesadaran-Keberkatan). Darma tidak hanya sekadar aturan atau harmoni, namun kebenaran murni. Dalam Mahabharata, Kresna mendefinisikan darma sebagai penegak perkara di dunia manusia dan dunia lain (Mbh 12.110.11). Kata Sanātana berarti 'kekal', 'tak mati', atau 'selamanya'; maka, agama Hindu sebagai Sanātana-dharma bermakna suatu darma yang tidak berawal atau berakhir.[205]
- Arta: Arta adalah upaya mencari harta demi penghidupan dan kemakmuran. Hal ini juga mencakup usaha mencari pekerjaan, berpolitik, memelihara kesehatan, dan mencari kesejahteraan material.[206] Arta dibutuhkan demi mencapai kehidupan yang makmur sentosa, terutama bagi umat yang sudah berumah tangga. Ajaran tentang arta disebut Arthashastra, dan yang termasyhur di antaranya adalah Arthashastra karya Kautilya.[207]
- Kama: Kama berarti hasrat, keinginan, gairah, kemauan, dan kenikmatan panca indra. Kama dapat pula berarti kesenangan estetis dalam menikmati kehidupan (seni, hiburan, kegembiraan), kasih sayang, atau pun asmara.[208][209] Akan tetapi, kama dalam hubungan asmara atau percintaan hanya dapat dipenuhi melalui hubungan pernikahan. Kama dibutuhkan dalam membangun kehidupan rumah tangga, atau grehasta.
- Moksa: Moksa atau mukti adalah tujuan hidup yang utama bagi umat Hindu. Moksa adalah keadaan yang sama sekali berbeda dengan pencapaian surga. Moksa adalah suatu kondisi saat individu menyadari esensi dan realitas sejati dari alam semesta, sehingga individu mengalami kemerdekaan dari kesan-kesan duniawi, tanpa suka atau pun duka, lepas belenggu samsara, serta lepas dari hasil perbuatan (karma) yang melekati individu selama mengalami proses reinkarnasi.[210]
Empat jalan spiritualitas (caturmarga) dalam agama Hindu. Setiap jalan menyediakan cara yang berbeda untuk mencapai moksa.
Umat Hindu memenuhi tujuan hidupnya dengan menempuh jalan yang berbeda-beda. Jalan tersebut merupakan yoga. Yoga di sini dapat diartikan sebagai disiplin fisik, mental, dan spiritual demi memperoleh kedamaian dan ketenangan pikiran.[211]
Dalam konteks dan tradisi lain, yoga dapat pula didefinisikan sebagai
"upaya mengendalikan pikiran agar [pikiran] tidak liar", atau "[usaha]
mempersatukan diri dengan Tuhan".[211] Ajaran tentang pelaksanaan yoga dihimpun dan diuraikan oleh para resi atau orang bijak. Kitab yang memuat ajaran yoga meliputi Bhagawadgita, Yogasutra, Hathayoga-pradipika, dan Upanishad sebagai basis filosofis dan historisnya. Yoga mengarahkan umat Hindu untuk mencapai tujuan hidup yang spiritual (moksa, samadhi, atau nirwana), baik secara langsung maupun tidak langsung. Empat macam jalan (yoga) utama yang sering disinggung yakni:[212]
- Karmayoga (melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya dengan ikhlas)
- Bhaktiyoga (mencintai Tuhan dan menyayangi segala makhluk)
- Jnanayoga (mencari pengetahuan dan berkontemplasi tentang Tuhan)
- Rajayoga (mengendalikan pikiran dengan meditasi, sikap tubuh, atau semacamnya)
Seseorang dapat memilih salah satu atau beberapa yoga sekaligus,
sesuai dengan kecenderungan dan pemahamannya. Beberapa aliran Hinduisme
yang menekankan pengabdian mengajarkan bahwa bhakti adalah
satu-satunya jalan praktis untuk mencapai kesempurnaan spiritual bagi
masyarakat awam, berdasarkan kepercayaan bahwa dunia sedang berada pada
masa Kaliyuga (salah satu jangka waktu dalam siklus Yuga yang kini sedang berlangsung).[213]
Melaksanakan salah satu yoga tidak berarti mengabaikan yang lainnya.
Banyak mazhab Hinduisme mengajarkan bahwa berbagai yoga secara alami
berbaur dan mendukung pelaksanaan yoga lainnya. Contohnya praktik jnanayoga, yang dianggap pasti mengarahkan seseorang untuk memberikan kasih sayang murni (tujuan utama bhaktiyoga), dan demikian sebaliknya.[214] Seseorang yang mendalami meditasi tingkat tinggi (seperti yang ditekankan raja yoga) harus mewujudkan prinsip pokok dari karmayoga, jnanayoga, dan bhaktiyoga, baik secara langsung maupun tak langsung.[212][215]
Pustaka suci
Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda,
agama Hindu berdasarkan kepada himpunan pedoman spiritual yang
ditemukan oleh orang yang berbeda-beda pada zaman yang berbeda-beda.[216][217] Selama berabad-abad, pedoman itu diwariskan secara lisan dalam bentuk syair agar dapat dihafalkan, sampai akhirnya dituliskan.[218] Selama berabad-abad, para resi menyaring ajaran tersebut dan memperluas dalil-dalilnya. Pada masa setelah Periode Weda dan menurut keyakinan Hindu masa kini, banyak pustaka Hindu tidak untuk ditafsirkan secara harfiah. Yang diutamakan adalah etika dan makna metaforis yang terkandung di dalamnya.[219] Di antara pustaka suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama, Purana, serta dua wiracarita, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai intisari Weda. Banyak pustaka Hindu yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Pustaka-pustaka tersebut digolongkan menjadi dua kelas: Sruti dan Smerti.
Sruti
Regweda adalah salah satu kitab suci tertua di dunia. Naskah Regweda dalam foto ini ditulis dengan aksara Dewanagari.
Sruti (artinya "apa yang didengar")[220] terutama mengacu kepada kumpulan Weda, yang merupakan bentuk pustaka Hindu tertua. Banyak umat Hindu mengagungkan Weda sebagai kebenaran abadi yang diwahyukan kepada para resi purbakala,[217][221] sementara umat yang lain tidak menyangkutpautkan penyusunan Weda dengan Tuhan atau seseorang. Umat Hindu meyakini kumpulan Weda sebagai pedoman bagi dunia spiritual, yang akan ada selama-lamanya, bahkan tetap ada jika seandainya tidak pernah diwahyukan kepada para resi.[216][222] Umat Hindu memiliki kepercayaan demikian karena mengimani bahwa kebenaran spiritual dalam Weda bersifat kekal, yang dapat terus diungkapkan dengan cara-cara yang baru.[223]
Ada empat kitab Weda, yaitu Regweda (Ṛgveda), Samaweda (Sāmaveda), Yajurweda (Yajurveda), dan Atharwaweda (Atharvaveda). Kitab Regweda adalah kitab Weda yang pertama dan terpenting. Setiap Weda dibagi menjadi empat bagian: yang utama—Weda yang baku—adalah Samhita (Saṃhitā), yang menghimpun mantra-mantra. Tiga bagian lainnya membentuk seperangkat golongan suplemen bagi Samhita, biasanya dalam bentuk prosa dan dipercaya berusia lebih muda daripada Saṃhitā. Adapun tiga bagian tersebut adalah Brahmana (Brāhmaṇa), Aranyaka (Āraṇyaka), dan Upanishad. Dua bagian pertama disebut Karmakanda (Karmakāṇḍa; porsi ritual), sedangkan yang terakhir disebut Jnanakanda (Jñānakāṇḍa; porsi pengetahuan).[224] Kumpulan Weda berfokus kepada pelaksanaan upacara, sementara kumpulan Upanishad berfokus kepada pandangan spiritual dan ajaran filosofis, serta memperbincangkan Brahman dan reinkarnasi.[219][225][226]
Smerti
Kitab-kitab Hindu yang tak termasuk Sruti digolongkan ke dalam Smerti (ingatan). Kitab Smerti yang terkenal yaitu wiracarita India (Itihasa), terdiri dari Mahabharata (Mahābhārata) dan Ramayana (Rāmāyaṇa). Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat keagamaan, mitologi, dan cerita tentang makhluk supernatural.
Kitab Bhagawadgita (Bhagavadgītā) merupakan suatu bagian integral dalam Mahabharata, dan merupakan salah satu kitab suci Hindu yang masyhur. Kitab tersebut mengandung ajaran filosofis yang dinarasikan oleh Kresna—sebagai awatara Wisnu—kepada Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra. Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka.
Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada
Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus
pokok-pokok ajaran Weda.[227] Akan tetapi, kitab yang termasuk Gita—kadangkala disebut Gitopanishad—seringkali digolongkan ke dalam Sruti, karena konteksnya bersifat Upanishad.[228]
Kitab-kitab Purana (Purāṇa)—yang menguraikan ajaran-ajaran Hindu melalui kisah-kisah yang gamblang—tergolong ke dalam Smerti. Purana memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman purba yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana.
Kitab lain yang tergolong ke dalam Smerti meliputi Dewimahatmya (Devīmahātmya), Tantra, Yogasutra, Tirumantiram, Siwasutra, dan Agama (Āgama). Selain itu, ada kitab Manusmerti,
yang merupakan kitab hukum preskriptif yang mendasari aturan
kemasyarakatan dan stratifikasi sosial yang kemudian menuntun masyarakat
membentuk sistem kasta di India. Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing aliran dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi
tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit
dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan
memperkirakan datangnya suatu musim.
Sejarah
Periodisasi
James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania.[229][230] Periodisasi ini menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya.[231] Periodisasi lainnya memilah-milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[232] Smart[233] dan Michaels[234] tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,[j] sedangkan Flood[235] dan Muesse[237][238] mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[239]
Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:
- Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik". Itu merupakan periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[k] Jainisme, dan Buddhisme. Menurut Smart, "periode klasik" berlangsung dari 100 M hingga 1000 M, dan bertepatan dengan suburnya "Hinduisme Klasik", serta pertumbuhan dan kemunduran Buddha Mahayana di India.[241]
- Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa "Reformisme Asketis",[242] sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M adalah masa "Hinduisme Klasik", karena adanya titik balik antara agama Weda dan agama Hindu.[243]
- Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu antara 800 SM dan 200 SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik". Menurut Muesse, beberapa konsep dasar agama Hindu, yaitu karma, reinkarnasi, serta pencerahan dan transformasi seseorang—yang tidak ditemui dalam agama Weda—berkembang pada periode tersebut.[244]
Smart[233] | Michaels[14] | Muesse[238] | Flood[245] | |
---|---|---|---|---|
Umum | Detail | |||
Peradaban Lembah Sungai Indus dan Periode Weda (kr. 3000 – 1000 SM) |
Agama-Agama Pra-Weda (prasejarah – kr. 1750 SM) |
Peradaban Lembah Sungai Indus (3300 – 1400 SM) |
Peradaban Lembah Sungai Indus (kr. 2500 – 1500 SM) |
|
Agama Weda Kuno (kr. 1750 – 500 SM) |
Periode Weda Awal (kr. 1750 – 1200 SM) |
Periode Weda (1600 – 800 SM) |
Periode Weda (kr. 1500 – 500 SM) |
|
Periode Weda Pertengahan (dari 1200 SM) |
||||
Periode Praklasik (kr. 1000 SM – 100 M) |
Periode Weda Akhir (dari 850 SM) |
Periode Klasik (800 – 200 SM) |
||
Reformisme Asketis (kr. 500 – 200 SM) |
Periode Epos dan Purana (kr. 500 SM – 500 M) |
|||
Hinduisme Klasik (kr. 200 SM – 1100 M) |
Hinduisme Praklasik (kr. 200 SM – 300 M) |
Periode Epos dan Purana (200 SM – 500 M) |
||
Periode Klasik (kr. 100 M – 1000 M) |
"Zaman Kejayaan" (Kemaharajaan Gupta) (kr. 320 – 650 M) |
|||
Hinduisme-Klasik Akhir (kr. 650 – 1100 M) |
Periode-Purana Pertengahan dan Akhir (500 – 1500 M) |
Periode-Purana Pertengahan dan Akhir (500 – 1500 M) |
||
Peradaban Hindu-Islam (kr. 1000 – 1750 M) |
Penaklukan Muslim dan Kemunculan Sekte-Sekte Hinduisme (kr. 1100 – 1850 M) |
|||
Abad Modern (1500 – kini) |
Abad Modern (kr. 1500 – kini) |
|||
Periode Modern (kr. 1750 – kini) |
Hinduisme Modern (sejak kr. 1850) |
Agama-Agama Pra-Weda
Artefak yang disebut cap Shiva-pashupati (Siwa sang penguasa satwa), berasal dari masa Peradaban Lembah Sungai Indus.
Ras manusia pertama yang menduduki India (kr. 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat periode Paleolitik) adalah Australoid yang mungkin memiliki hubungan dengan penduduk asli Australia.[246] Ada dugaan bahwa ras tersebut hampir punah atau terdesak oleh gelombang migrasi pada masa berikutnya.[247]
Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras Kaukasoid (meliputi bangsa Elamo-Dravida [kr. 4000[248] hingga 6000 SM][249] dan Indo-Arya [kr. 2000[250] hingga 1500 SM][251]) dan Mongoloid (Sino-Tibet) bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida[l] ada kemungkinan berasal dari Elam, kini merupakan wilayah Iran.[248][249][252][253]
Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama Hindu[m]—berasal dari zaman mesolitik[255] dan neolitik.[254]
Beberapa agama suku di India masih bertahan, mendahului dominansi agama
Hindu, namun tidak harus dianggap bahwa ada banyak kemiripan antara
masyarakat suku pada zaman prasejarah dengan masa kini.[256]
Menurut antropolog Gregory Possehl, peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM) mengandung titik pangkal yang logis, atau mungkin arbitrer, bagi beberapa aspek pada tradisi Hindu di kemudian hari.[257] Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan kepada Dewa Yang Mahakuasa, yang dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama John Marshall) sebagai proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu Dewi, yang mendasari figur Sakti.
Praktik-praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang
berlanjut ke periode Weda meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan
tetapi, hubungan antara dewa-dewi dan praktik agama lembah sungai Indus
dengan agama Hindu masa kini telah menjadi subjek perselisihan politis
serta perdebatan para ahli.[258]
Periode Weda
Peta dataran subur India Utara.
Periode Weda—yang berlangsung dari kr. 1750 sampai 500 SM[234][n]—disebut demikian karena berdasarkan agama berbasis Weda yang dianut oleh bangsa Indo-Arya,[260][o] yang bermigrasi ke India barat daya setelah mundurnya peradaban lembah sungai Indus[261][262][263] (ada kemungkinan dari stepa Asia Tengah).[252][264] Bangsa ini membawa serta bahasa[265] dan agama mereka.[251][266] Agama mereka berkembang lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran India Utara setelah kr. 1100 SM dan menjadi pastoralis.[267][268][269]
Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal dari bahan-bahan agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis),[270] sastra yang mendasari tradisi pada masa itu adalah Weda Samhita, sehingga periode tersebut dinamai demikian. Kitab tertua di antara sastra Weda tersebut adalah Regweda, yang diperkirakan telah disusun pada periode 1700–1100 SM.[p] Sastra Weda memusatkan pemujaan kepada para dewa seperti Indra, Baruna, dan Agni, serta melangsungkan upacara Soma. Kurban dengan api, yang disebut yadnya (yajña) dilaksanakan dengan merapalkan mantra-mantra Weda.[272][273] Sastra Weda
dikodifikasi ketika bangsa Indo-Arya mulai menduduki dataran India
Utara yang subur, kemudian melakukan transisi dari masyarakat
penggembala menuju masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan
organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul. Masyarakat baru tersebut
melibatkan penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur
tersebut. Mereka dimasukkan ke dalam sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas politik dan keagamaan berada di tangan kaum brahmana dan kesatria.[274]
Selama Periode Weda Awal (kr. 1500–1100 SM), suku-suku penganut Weda merupakan suku penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut.[275] Setelah 1100 SM, seiring ditemukannya besi, suku-suku penganut Weda berpindah ke dataran India Utara sebelah barat, dan mengadaptasi gaya hidup agraris.[276][277] Bentuk-bentuk wilayah berdaulat yang belum sempurna mulai muncul, dan yang paling menonjol atau berpengaruh adalah kerajaan suku Kuru.[267][278] Kerajaan tersebut merupakan ikatan kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi masyarakat setingkat negara—yang pertama kali tercatat dalam sejarah Asia Selatan—sekitar 1000 M.[267]
Secara terang-terangan, mereka mengubah warisan budaya dari Periode
Weda sebelumnya, mengumpulkan himne-himne Weda menjadi suatu himpunan,
dan mengembangkan upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban
India sebagai upacara-upacara srauta,[267] yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis Hindu".[274][48]
Pada abad ke-9 dan ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-kitab Upanishad tertua.[279] Upanishad membentuk suatu dasar teoritis bagi Hinduisme Klasik dan dikenal sebagai Wedanta (kesimpulan dari Weda).[280] Kitab-kitab Upanishad kuno menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah.[281] Spekulasi monistis yang beragam dari ajaran Upanishad disintesiskan menjadi suatu kerangka teistis dalam kitab suci Hindu Bhagawadgita.[282]
Etika dalam kitab-kitab Weda berdasarkan konsep satya dan reta. Satya adalah prinsip integrasi
yang berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang
meregulasi dan mengkoordinasi jalannya alam semesta beserta segala
sesuatu di dalamnya.[283]
Kesesuaian dengan reta akan memungkinkan sesuatu berjalan sebagaimana
mestinya, sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan hal yang tidak
diinginkan.[284] Istilah dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang dipandang sebagai aspek dari reta.[285] Istilah reta juga dikenal dalam agama Proto-Indo-Iran, yaitu agama orang-orang Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab Weda (Indo-Aryan) dan Zoroastrianisme (Iran). Asha (aša) adalah istilah dalam bahasa Avesta yang mirip dengan ṛta dalam Weda.[286]
Kitab-kitab Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata mengungkapkan gagasan atau praktik yang populer.[287] Agama berbasis Weda pada periode selanjutnya hadir berdampingan dengan agama-agama lokal—seperti pemujaan Yaksa[274][288][289]—dan ia sendiri merupakan hasil dari campuran antara kebudayaan Indo-Arya dengan Harrapa.[52]
Reformisme Asketis
Peningkatan urbanisasi di India pada abad ke-7 dan ke-6 SM telah mendukung terjadinya gerakan asketis atau Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai upacara.[290] Mahavira (kr. 549–477 SM, pemuka Jainisme) dan Buddha Gautama (kr. 563–483 SM, penggagas tradisi Buddhisme) adalah tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut.[291] Menurut Heinrich Zimmer, Jainisme dan Buddhisme adalah bagian dari warisan kebudayaan pra-Weda, yang juga meliputi Samkhya dan Yoga:
Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya] Brahman-Arya,[q] tetapi mencerminkan kosmologi dan antropologi masyarakat kuno pra-Arya golongan atas [yang tinggal] di India bagian timur laut – dengan berpangkal pada dasar-dasar yang sama tentang spekulasi metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya, dan Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India lainnya yang tidak berbasis Weda.[r][292][293]
Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan kematian (siklus reinkarnasi), konsep samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari reinkarnasi tersebut), yang menjadi karakteristik Hinduisme.[294]
James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist Pilgrimage menulis bahwa Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915), dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan pengaruh apa pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu, Sang Buddha menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.[295]
Hinduisme Klasik
Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan dengan zaman kejayaan Hindu pada masa Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode Hinduisme Klasik Akhir. Periode Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan agama Islam ke Asia Selatan, lalu diikuti dengan pendirian aliran atau sekte dalam agama Hindu.
Hinduisme Praklasik
Pada periode dari 500[48] hingga 200 SM,[296] dan kr. 300 M, terjadi "sintesis Hindu",[48] yang menyerap pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha,[296][297] serta kemunculan tradisi bhakti dalam balutan Brahmanisme melalui pustaka Smerti.[298] Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan agama Buddha dan Jainisme.[58]
Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan agama berbasis Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di bawah naungan agama Weda.[299] Ketika Brahmanisme mulai kehilangan pamornya[243] dan harus bersaing dengan Buddhisme dan Jainisme,[298] agama-agama yang populer mendapat kesempatan untuk menonjolkan ajarannya.[299] Menurut Embree:
Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas perkembangan [agamanya] sebagai maksud untuk menghadapi gempuran aliran-aliran yang lebih heterodoks. Pada saat yang sama, di kalangan agama-agama pribumi yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan sastra Weda telah memberikan suatu tali persatuan yang tipis—namun begitu signifikan—di antara kemajemukan dewa-dewi dan praktik keagamaan [yang ada].[s][299]
Menurut Larson, para brahmana menanggapinya dengan asimilasi dan konsolidasi. Hal tersebut tercerminkan dalam pustaka Smerti yang mulai disusun pada periode itu.[300] Kitab-kitab Smerti dari periode 200 SM–100 M mempermaklumkan kewenangan Weda, sehingga pengakuan terhadap kewenangan Weda menjadi kriteria utama untuk membedakan Hinduisme dengan aliran heterodoks yang menolak Weda.[301]
Sebagian besar gagasan dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal dari
pustaka Smerti, yang kemudian menjadi inspirasi dasar bagi kebanyakan
umat Hindu.[300]
Dua wiracarita India terkemuka—Ramayana dan Mahabharata—yang tergolong ke dalam Smerti, disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan awal zaman Masehi.[302]
Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para pemimpin dan
peperangan pada zaman India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan
ajaran agama. Sastra Purana yang disusun pada masa berikutnya mengandung cerita tentang para dewa-dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan pertempuran mereka melawan para rakshasa. Kitab Bhagawadgita memperkuat keberhasilan[303] konsolidasi agama Hindu,[303] dengan memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan Sramana menjadi suatu kebaktian yang teistis.[303][304][305]
Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab filsafat Hindu dikodifikasikan secara formal, meliputi Samkhya, Yoga, Nyaya, Waisesika, Purwamimamsa, dan Wedanta.[306]
"Zaman Kejayaan"
Candi Dashavatara di Deogarh, negara bagian Uttar Pradesh, India. Candi ini dibangun pada abad ke-6, era Dinasti Gupta.
Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring
dengan berkembangnya perdagangan ke negeri yang jauh, standardisasi
prosedur legal, dan pemberantasan buta huruf.[307] Buddhisme aliran Mahayana menyebar, sedangkan kebudayaan Brahmana ortodoks mulai disegarkan kembali di bawah perlindungan Dinasti Gupta,[308] yang dipimpin para raja penganut Waisnawa.[309] Kedudukan para brahmana diperkuat kembali dan kuil-kuil Hindu mulai didirikan sebagai dedikasi untuk dewa-dewi Hindu.[307] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, sastra Purana
mulai ditulis, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di
kalangan masyarakat pribumi dan buta huruf yang menjalani akulturasi.[310] Para raja Gupta melindungi tradisi Purana yang mulai berkembang demi perbawa wangsa mereka.[309] Hal ini menyebabkan timbulnya Hinduisme-Puranis (Puranic Hinduism), yang berbeda dengan Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada Dharmasastra dan Smerti.[310]
Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan tradisi bhakti yang tumbuh sangat cepat, bermula di Tamil Nadu (India Selatan). Para Nayanar dari aliran Saiwa (abad ke-4 – ke-10)[311] serta para Alwar dari aliran Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi bhakti ke berbagai penjuru India dari abad ke-12 hingga ke-18.[312][311]
Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi
intelektual—kurun waktu paling gemilang dalam perkembangan filsafat
India, ketika filsafat Hindu dan Buddha tumbuh subur secara
berdampingan.[313] Carwaka, mazhab materialisme ateistis, tampil di India Utara sebelum abad ke-8.[314]
Hinduisme Klasik Akhir
Setelah runtuhnya kemaharajaan Gupta dan Harsha, kekuasaan di India mengalami desentralisasi. Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan negeri taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin dengan sistem feodal.
Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih besar.
Maharaja sulit dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan,[315] sebagaimana yang digambarkan dalam mandala Tantra, dan kadangkala raja digambarkan sebagai pusat mandala.[316]
Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta persaingan religius.[317] Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh Hinduisme-Brahmanis ritualistis (ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang.[317] Gerakan rakyat dan kebaktian mulai bermunculan, seiring dengan [tumbuhnya] aliran Saiwa, Waisnawa, Bhakti, dan Tantra, meskipun pengelompokan menurut sekte hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-aliran tersebut.[317] Gerakan keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari penguasa lokal. Agama Buddha kehilangan pamornya setelah abad ke-8, lalu mulai memudar di India.[317] Hal tersebut tersirat dari penghentian ritus puja Buddhis di lingkungan istana-istana India pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu menggantikan peran Buddha sebagai pelindung kerajaan.[318]
Sastra Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di kalangan masyarakat pribumi yang mengalami akulturasi. Seiring dengan dadal yang dialami Dinasti Gupta, tanah-tanah perawan
dikumpulkan oleh para brahmana, yang tidak hanya menjamin keuntungan
agraris dari eksploitasi tanah yang dimiliki para raja, tetapi juga
memberikan status bagi kelas penguasa yang baru.[319]
Para brahmana menyebar ke berbagai penjuru India, berinteraksi dengan
warga lokal yang menganut kepercayaan dan ideologi berbeda. Para
brahmana menggunakan Purana untuk mengajak berbagai klan menjadi masyarakat agraris, serta mengikuti agama dan ideologi para brahmana.[64] Menurut Flood, para brahmana yang mengikuti agama berbasis Purana kemudian dikenal sebagai Smarta, artinya orang yang bersembahyang berdasarkan Smerti, atau Pauranika, yaitu penganut Purana.[320] Kepala suku dan warga lokal diserap ke dalam sistem warna, demi mengendalikan tindak tanduk kaum "kesatria dan sudra baru" tersebut.[321]
Kelompok-kelompok brahmana semakin besar dengan mengikutsertakan orang
lokal, seperti pendeta dan rohaniwan lokal. Hal ini mengarah ke stratifikasi bagi kaum brahmana, sehingga ada golongan brahmana yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan brahmana lainnya.[64] Penarapan sistem kasta lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-aliran Sramana (Buddha atau Jaina). Pustaka Purana mencantumkan suatu riwayat silsilah yang luas sehingga dapat memberikan status kesatria baru bagi suatu golongan. Sementara itu, ajaran Buddha menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara orang yang terpilih dengan rakyat, dan chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda dengan model penaklukkan yang dilakukan para kesatria dan kaum Rajput Hindu.[321]
Brahmanisme berdasarkan pustaka Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi radikal di tangan para penyusun Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis (Puranic Hinduism),[310] bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan", yang kemudian melintangi segala agama-agama yang ada.[322]
Hinduisme Puranis merupakan sistem kepercayaan yang terdiri dari banyak
bagian yang tumbuh dan meluas dengan menyerap dan memadukan
gagasan-gagasan bertentangan dan berbagai tradisi pemujaan.[322] Agama ini berbeda dengan Smarta yang menjadi pangkalnya. Perbedaan itu terletak pada ketenaran, pluralisme teologis, pluralisme sekte, pengaruh Tantra, dan pengutamaan bhakti.[322]
Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme Puranis. Wisnu dan Siwa tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan dengan Sakti/Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya menimbulkan kultus Narayana, Jagatnata, Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:
Beberapa inkarnasi Wisnu seperti Matsya, Kurma, Waraha, dan bahkan Narasinga membantu pemaduan simbol-simbol totem populer dan mitos penciptaan, khususnya yang berkaitan dengan babi hutan, yang umumnya meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan [inkarnasi] lainnya seperti Kresna dan Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan mitos lokal yang berpusat pada dewa-dewa pedesaan dan pertanian.[t][323]
Rama dan Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi bhakti, yang terutama diungkapkan dalam Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa kultus berbasis naga, yaksa, bukit, dan pepohonan.[324] Siwa menyerap kultus-kultus lokal dengan menambahkan kata Isa atau Iswara pada nama dewa-dewa lokal, contohnya Buteswara, Hatakeswara, Candeswara.[325] Dalam lingkungan keluarga raja pada abad ke-8, puja terhadap Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi Hindu. Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah satu awatara Wisnu.[326]
Mazhab Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh agama Buddha[327]—dirumuskan kembali oleh Adi Shankara dengan membuat sistematisasi karya-karya para filsuf pendahulunya.[328] Pada masa kini, karena pengaruh Orientalisme Barat dan Perenialisme terhadap Neo-Wedanta India dan nasionalisme Hindu,[329]
Adwaita Wedanta mendapatkan sambutan yang luas dalam kebudayaan India
dan di luar India sebagai contoh paradigmatis dari spiritualitas Hindu.[329]
Kehadiran Islam dan sekte Hindu
Reruntuhan Candi Somnath
pada tahun 1869. Candi ini pernah didirikan dan dihancurkan
berkali-kali selama periode penaklukan muslim di India, sampai akhirnya
dipugar pada tahun 1951.
Meskipun Islam sudah datang ke India sejak awal abad ke-7 (seiring dengan kedatangan para pedagang Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi agama utama selama periode penaklukan Islam di Asia Selatan pada masa selanjutnya.[330] Pada periode tersebut, agama Buddha memudar secara drastis, dan banyak umat Hindu pindah agama ke Islam.[331][332] Banyak penguasa muslim beserta panglimanya, seperti Aurangzeb dan Malik Kafur yang menghancurkan tempat ibadah umat Hindu dan menindas kaum non-muslim;[333][334] akan tetapi, beberapa penguasa muslim seperti Akbar bersikap lebih toleran.
Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh Guru Ramanuja yang terkemuka, serta Guru Madhwa, dan Sri Caitanya.[330] Pengikut gerakan Bhakti beralih dari konsep Brahman yang abstrak—yang dianjurkan oleh filsuf Adi Shankara berabad-abad sebelumnya—dengan tradisi kebaktian yang lebih bersemangat terhadap pemujaan para awatara yang lebih mudah dibayangkan, terutama Kresna dan Rama.[335] Menurut Nicholson, antara abad ke-17 dan ke-16, beberapa cendekiawan tertentu mulai menarik benang merah pada kanekaragaman ajaran filosofis dalam Upanishad, wiracarita, Purana, dan mazhab filsafat yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum.[336] Lorenzen menentukan bahwa asal mula identitas ke-Hindu-an yang khas berawal dari interaksi antara muslim dan umat Hindu,[86] dan dari suatu proses pencarian jati diri yang membedakan diri dengan muslim,[337] yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[87] Baik cendekiawan India atau pun Eropa—yang mempopulerkan istilah "Hinduisme" pada abad ke-19—telah mendapat pengaruh dari filsafat tersebut.[26] Michaels menggarisbawahi bahwa historisasi muncul sebelum nasionalisme di kemudian hari, yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.[88]
Hinduisme masa kini
Di tengah kekuasaan British Raj (penjajahan Inggris atas India), Renaisans Hindu mulai bangkit pada abad ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan agama Hindu, baik di India atau pun di Barat.[13] Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian kebudayaan India dari sudut pandang Eropa) didirikan pada abad ke-19, dipimpin oleh para ahli seperti Max Müller dan John Woodroffe. Mereka memboyong filsafat dan pustaka Weda, Purana, dan Tantra ke Eropa. Para orientalis mencari-cari "hakikat" agama-agama di India, dan menemukannya pada pustaka Weda,[338]
sambil membuat gagasan bahwa "Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari
berbagai adat keagamaan dan gambaran populer mengenai ‘India yang
mistis’.[339][13] Gagasan tersebut diambil alih oleh beberapa gerakan reformasi Hindu seperti Brahmo Samaj, yang didukung untuk sesaat oleh Gereja Unitarian,[340] bersama dengan gagasan Universalisme dan Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama memiliki dasar mistisisme yang sama.[341] "Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka seperti Vivekananda, Aurobindo, serta Radhakrishnan menjadi panutan dalam pemahaman populer mengenai agama Hindu.[342][343][344][345]
Tokoh Hindu yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah Ramana Maharshi, B.K.S. Iyengar, Paramahansa Yogananda, Swami Prabhupada (pendiri ISKCON), Sri Chinmoy, dan Swami Rama,
yang menerjemahkan, merumuskan ulang, dan memperkenalkan pustaka dasar
agama Hindu bagi khalayak awam masa kini dengan imla yang baru,
mengangkat pandangan tentang Yoga dan Wedanta di Dunia Barat, serta menarik pengikut baru dan perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.
Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai
kekuatan politis dan acuan bagi jati diri bangsa India. Sejak pendirian Hindu Mahasabha pada 1910-an, banyak gerakan bertumbuh dengan perumusan dan perkembangan ideologi Hindutva pada dekade-dekade berikutnya; pendirian Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan percabangan RSS—yang kemudian berhasil—yaitu Jana Sangha dan Bharatiya Janata Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa pascakemerdekaan India.[346] Religiositas Hindu juga memainkan peran penting dalam gerakan nasionalis.[347]
Pranata
Caturwarna
Sekelompok pendeta Hindu suku Tengger, Jawa Timur. Foto dari tahun 1910-an.
Masyarakat Hindu dikategorikan menjadi empat kelas, disebut warna, yaitu sebagai berikut:
- Brahmana: pendeta dan guru kerohanian
- Kesatria: bangsawan, pejabat, dan tentara
- Waisya: petani, pedagang, dan wiraswasta
- Sudra: pelayan dan buruh
Kitab Bhagawadgita menghubungkan warna dengan kewajiban seseorang (swadharma), pembawaan (swabhāwa), dan kecenderungan alamiah (guṇa).[84] Berdasarkan pengertian warna menurut Bhagawadgita, tokoh spiritual Hindu Sri Aurobindo membuat doktrin bahwa pekerjaan seseorang semestinya ditentukan oleh bakat dan kapasitas alaminya.[348][349] Dalam kitab Manusmerti terdapat pengelompokan kasta-kasta yang berbeda.[350]
Mobilitas dan fleksibitas dalam warna menampik dugaan diskriminasi
sosial dalam sistem kasta, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa
sosiolog,[351][352] meskipun beberapa ahli tidak sependapat.[353] Para ahli memperdebatkan apakah sistem kasta merupakan bagian dari Hinduisme yang diatur oleh kitab suci, ataukah sekadar adat masyarakat.[354][355][u] Berbagai ahli berpendapat bahwa sistem kasta dibangun oleh rezim kolonial Britania.[357] Menurut guru rohani Hindu Sri Ramakrishna (1836–1886):
Menurut sastra Wedanta, orang yang berada di luar warna disebut "warnatita". Para ahli seperti Adi Sankara menegaskan bahwa tidak hanya Brahman
yang melampaui seluruh warna, namun seseorang yang dapat bersatu
dengan-Nya juga dapat melampaui seluruh perbedaan dan pembatasan
kasta-kasta.
Jenjang kehidupan
Secara tradisional, kehidupan umat Hindu terbagi menjadi empat āśrama atau caturasrama (empat fase atau empat tahapan). Bagian pertama dalam kehidupan seseorang adalah Brahmacari,
yaitu masa menuntut ilmu. Tahap ini dilaksanakan sebelum masa kawin,
untuk dapat berkontemplasi secara murni dan bijaksana di bawah bimbingan
Guru, demi membangun pikiran dan fondasi spiritual. Tahap berikutnya adalah Grehasta, yaitu tahap membangun kehidupan rumah tangga, dilaksanakan dengan cara menikah dan memenuhi kāma (kenikmatan indria) dan arta
(kemakmuran). Setelah berumah tangga, kewajiban moral yang dilaksanakan
meliputi: mengasuh anak, merawat orang tua, menghormati tamu dan orang
suci.
Setelah berumah tangga dalam jangka waktu tertentu, umat Hindu kemudian menempuh tahap Wanaprasta,
yaitu masa pensiun atau masa melepaskan diri dari kesibukan duniawi.
Tahap ini dapat dilaksanakan dengan cara menyerahkan tanggung jawab
kepada keturunan, agar pensiunan mendapatkan lebih banyak kesempatan
untuk melakukan aktivitas keagamaan dan mengunjungi tempat-tempat suci.
Tahap yang terakhir adalah Sannyasa,
yaitu masa menghabiskan sisa hidup dengan melakukan tapa brata, atau
berusaha melepaskan diri dari ikatan duniawi. Pelepasan tersebut
dilakukan dalam rangka menemukan Tuhan, serta untuk mencari cara
meninggalkan tubuh fana secara damai, agar mencapai suatu kondisi yang
disebut moksa.[359]
Praktik keagamaan
Praktik keagamaan Hindu biasanya bertujuan untuk mencari kesadaran
akan Tuhan, dan kadangkala mencari anugerah dari para dewa. Maka dari
itu, ada beragam praktik keagamaan dalam tubuh Hinduisme yang
dimaksudkan untuk membantu seseorang dalam upaya memahami Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari.
Persembahyangan
Seorang praktisi Bhaktiyoga sedang bermeditasi.
Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, umat Hindu biasanya mengucapkan mantra.
Mantra adalah seruan, panggilan, atau doa yang membantu umat Hindu agar
dapat memusatkan pikiran kepada Tuhan atau dewa tertentu, melalui
kata-kata, suara, dan cara pelantunan. Pada pagi hari, di tepi sungai
yang dikeramatkan, banyak umat Hindu yang melaksanakan upacara
pembersihan sambil melantunkan Gayatri Mantra atau mantra-mantra Mahamrityunjaya.[360] Wiracarita Mahabharata mengagungkan japa (lagu-lagu pujaan) sebagai kewajiban terbesar pada masa Kaliyuga (zaman sekarang, 3102 SM–kini).[361] Banyak aliran yang mengadopsi japa sebagai praktik spiritual yang utama.[361]
Praktik spiritual Hindu yang cukup populer adalah Yoga.
Yoga merupakan ajaran Hindu yang gunanya melatih kesadaran demi
kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual. Hal ini dilakukan melalui
seperangkat latihan dan pembentukan posisi tubuh untuk mengendalikan
raga dan pikiran.[362]
Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-lagu pujian. Praktik ini memiliki bentuk beragam: dapat berupa mantra semata atau kirtan, atau berupa dhrupad atau kriti dengan musik berdasarkan raga dan tala menurut musik klasik India.[363] Biasanya, bhajan mengandung syair untuk mengungkapkan cinta kepada Tuhan. Istilah tersebut sepadan dengan bhakti yang artinya "pengabdian religius", menyiratkan pentingnya bhajan bagi gerakan bhakti yang menyebar dari India bagian selatan ke seluruh subkontinen India pada masa Moghul.
Penggalan cerita dari kitab suci, ajaran para orang suci, serta deskripsi para dewa telah menjadi subjek bagi pelaksanaan bhajan. Tradisi dhrupad, qawwali Sufi,[364] dan kirtan atau lagu dalam tradisi Haridasi berkaitan dengan bhajan. Nanak, Kabir, Meera, Narottama Dasa, Surdas, dan Tulsidas adalah para pujangga bhajan terkemuka. Tradisi dalam bhajan
seperti Nirguni, Gorakhanathi, Vallabhapanthi, Ashtachhap,
Madhura-bhakti, dan Sampradya Bhajan dari India Selatan memiliki
repertoar dan cara pelantunan masing-masing.
Upacara
Upacara choroonu (nama lain dari annaprashan) di Kerala.
Banyak umat Hindu dari berbagai aliran yang melaksanakan ritual keagamaan sehari-hari.[365][366] Banyak umat Hindu yang melaksanakannya di rumah,[367]
tetapi pelaksanaannya berbeda-beda tergantung daerah, desa, dan
kecenderungan umat itu sendiri. Umat Hindu yang saleh melaksanakan
ritual sehari-hari seperti sembahyang subuh sehabis mandi (biasanya di
kamar suci/tempat suci keluarga, dan biasanya juga diiringi dengan
menyalakan pelita serta menghaturkan sesajen ke hadapan arca dewa-dewi),
membaca kitab suci berulang-ulang, menyanyikan lagu-lagu pemujaan, meditasi, merapalkan mantra-mantra, dan lain-lain.[367]
Ciri menonjol dalam ritual keagamaan Hindu adalah pembedaan antara yang
murni dan sudah tercemar. Ada aturan yang mengisyaratkan bagaimana
kondisi-kondisi yang dikatakan tercemar atau tak murni lagi, sehingga
pelaksana upacara harus melakukan pembersihan atau pemurnian kembali
sebelum upacara dimulai. Maka dari itu, penyucian—biasanya dengan
air—menjadi ciri umum dalam kebanyakan aktivitas keagamaan Hindu.[367]
Ciri lainnya meliputi kepercayaan akan kemujaraban upacara dan konsep
pahala yang diperoleh melalui kemurahan hati atau keikhlasan, yang akan
bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu sehingga mengurangi penderitaan di
kehidupan selanjutnya.[367]
Ritus dengan sarana api (yadnya)
kini tidak dilakukan sesering mungkin, meskipun pelaksanaannya sangat
diagungkan dalam teori. Akan tetapi, dalam upacara pernikahan dan
pemakaman adat Hindu, pelaksanaan yadnya dan perapalan mantra-mantra Weda masih disesuaikan dengan norma.[368]
Beberapa upacara juga berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai
contoh, pada masa beberapa abad yang lalu, persembahan tarian dan musik
sakral menurut kaidah Sodasa Upachara yang standar—sebagaimana tercantum dalam Agamashastra—tergantikan oleh persembahan dari nasi dan gula-gula.
Peristiwa seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian melibatkan
seperangkat tradisi Hindu yang terperinci. Dalam agama Hindu, upacara
bagi "siklus kehidupan" meliputi Annaprashan (ketika bayi dapat memakan makanan yang keras untuk pertama kalinya), Upanayanam (pelantikan anak-anak kasta menengah ke atas saat mulai menempuh pendidikan formal), dan Śrāddha
(upacara menjamu orang-orang dengan makanan karena bersedia melantunkan
doa-doa kepada "Tuhan" agar jiwa mendiang mendapatkan kedamaian).[369][370]
Untuk perihal pernikahan, bagi sebagian besar masyarakat India, masa
pertunangan pasangan muda-mudi serta tanggal dan waktu pernikahan
ditentukan oleh para orang tua dengan konsultasi ahli perbintangan.[369] Untuk perihal kematian, kremasi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kerabat mendiang, kecuali bila mendiang adalah sanyasin, hijra,
atau anak di bawah lima tahun. Biasanya, kremasi dilakukan dengan
membungkus jenazah dengan pakaian terlebih dahulu, lalu membakarnya
dengan api unggun.
Ahimsa
Mahatma Gandhi adalah tokoh Hindu dari India yang memilih untuk menerapkan praktik ahimsa dalam upaya menentang pemerintah kolonial Inggris pada masa Gerakan Kemerdekaan India.
Umat Hindu menganjurkan praktik ahimsa (ahiṃsā; artinya "tanpa kekerasan") dan penghormatan kepada seluruh bentuk kehidupan karena mereka meyakini bahwa "percikan dari Tuhan" juga meresap ke dalam setiap makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan hewan.[371] Istilah ahimsa disebutkan dalam kitab-kitab Upanishad[372] dan wiracarita Mahabharata. Ahimsa adalah yang pertama di antara lima yama (pancayamabrata; lima prinsip pengendalian diri) dalam Yogasutra Patanjali,[373] dan menjadi prinsip pertama bagi seluruh anggota Warnasramadarma (brahmana, ksatria, waisya, dan sudra) menurut Manusmerti.[374]
Konsep ahimsa dalam Hinduisme tidak seketat agama Buddha dan Jainisme, karena jejak keberadaan praktik-praktik pengorbanan dapat ditelusuri dalam kitab-kitab Weda, contohnya mantra-mantra untuk kurban kambing (dalam Regweda),[375] kurban kuda (Aswameda, dalam Yajurweda), dan kurban manusia (Purusameda, dalam Yajurweda),[376] sedangkan dalam ritus Jyotistoma ada tiga hewan yang dikurbankan melalui upacara yang masing-masing disebut Agnisomiya, Sawaniya, dan Anubandya. Yajurweda dianggap sebagai Weda pengorbanan dan ritual,[377][378] serta menyebutkan beberapa ritus pengurbanan hewan, contohnya mantra dan prosedur pengurbanan kambing putih kepada Bayu,[379] seekor anak lembu kepada Saraswati, seekor sapi bertutul kepada Sawitr, seekor banteng kepada Indra, seekor sapi yang dikebiri kepada Baruna, dan lain-lain.[380]
Tanggapan yang menentang pelaksanaan kurban datang dari aliran Carwaka yang menuliskan kritik mereka dalam Barhaspatyasutra (abad ke-3 SM) sebagai berikut:
"Jika hewan yang dikurbankan dalam ritus Jyotistoma akan segera mencapai surga,
mengapa si pelaksana tidak segera mengurbankan ayahnya saja?"[381]
Pada masa perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di India, para raja Buddhis seperti Ashoka memengaruhi rakyatnya dengan larangan pelaksanaan kurban.[376] Pada masa pemerintahan Ashoka, sebuah titah diberlakukan dan dituliskan pada sebuah batu, dengan kata-kata sebagai berikut:
"Ini adalah titah dari orang yang disayangi para dewa, Raja Piyadasi. Tindak pembunuhan kepada hewan tidak boleh dilakukan untuk seterusnya."[376]
Dari sini, reaksi sosial berkenaan dengan kitab tata cara pengorbanan (Brahmana) dapat ditelusuri.[376] Menurut Panini, ada dua macam Brahmana, yaitu Brahmana Lama dan Brahmana Baru.[376] Dalam Brahmana Lama—seperti Aitareya Brahmana untuk Regweda—pengorbanan benar-benar dilakukan, namun dalam Brahmana Baru seperti Shatapatha Brahmana, hewan kurban dilepaskan setelah terikat pada tiang pengorbanan.[376] Hal ini merupakan reaksi dari kebangkitan agama-agama Sramana—seperti agama Buddha dan Jainisme—yang berakibat pada peletakan konsep ahimsa di kalangan praktisi kitab Brahmana.
Vegetarianisme
Sesuai dengan konsep ahimsa, maka banyak umat Hindu yang mengikuti vegetarianisme
(tidak makan daging) demi menghormati bentuk kehidupan yang
tingkatannya tinggi. Sejumlah umat justru pantang makan daging hanya
pada hari-hari tertentu. Budaya makan juga bervariasi sesuai komunitas
dan kawasan. Sebagai contoh, beberapa kasta memiliki sedikit penganut
vegetarianisme, sedangkan masyarakat pesisir cenderung bergantung kepada
masakan laut.[382][383] Perkiraan jumlah lakto-vegetarian di India (mencakup umat seluruh agama di sana) bervariasi antara 20% dan 42%.[v]
Dalam agama Hindu, kemurnian makanan bersifat sangat penting karena
ada keyakinan bahwa makanan mencerminkan tiga kualitas sifat (triguna) yang umum, yaitu: kesucian (satwam), semangat (rajas), dan kelambanan (tamas). Maka dari itu, aturan makan yang sehat akan menjadi sesuatu yang turut membersihkan hati seseorang.[384]
Berdasarkan alasan tersebut, umat Hindu dianjurkan untuk menghindari
atau meminimalkan konsumsi makanan yang tidak meningkatkan kebersihan
hati. Beberapa contoh makanan yang dimaksud adalah bawang merah dan bawang putih, yang diyakini mengandung sifat rajas (keadaan yang dicirikan oleh sifat suka menentang dan egois), serta daging (daging dari hewan apa pun), yang diyakini mengandung sifat tamas (keadaan yang dicirikan oleh kemarahan, kerakusan, dan iri hati).[385]
Vegetarianisme dianjurkan oleh sejumlah aliran Hinduisme—meliputi Waisnawa dan Saiwa—yang melarang pengorbanan hewan,[386] tetapi tidak dianjurkan oleh aliran Hinduisme yang mengizinkan pengorbanan hewan.[387] Pada umumnya, pengorbanan hewan dilakukan oleh umat Hindu dari aliran Sakta,[388] (beberapa) komunitas Hindu dari golongan sudra dan kesatria,[389][390] penganut aliran Hinduisme di India Timur,[387] serta penganut aliran Hinduisme di Asia Tenggara.[391]
Pada umumnya, umat Hindu yang mengonsumsi daging tidak akan mau memakan daging sapi. Dalam masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai pengasuh manusia serta merupakan figur keibuan,[392] dan mereka menghormatinya sebagai lambang kasih tak bersyarat.[393] Maka dari itu, praktik penyembelihan sapi dilarang secara resmi di hampir seluruh negara bagian di India.[394]
Pada masa kini, ada banyak kelompok keagamaan Hindu yang menekankan
praktik vegetarianisme yang ketat. Salah satu contoh yang terkenal
adalah gerakan ISKCON (International Society for Krishna Consciousness), yang mewajibkan pengikutnya untuk tidak hanya pantang makan daging (termasuk ikan dan unggas), tetapi juga menghindari sayuran/tumbuhan tertentu yang dianggap dapat memberikan pengaruh negatif, seperti bawang merah, bawang putih,[384] dan jamur.[395] Contoh yang kedua adalah gerakan Swaminarayan. Pengikut gerakan ini juga sangat setia untuk tidak mengkonsumsi daging, telur, dan ikan.[396]
Pertapaan
Tiga petapa Hindu di Lapangan Durbar, Kathmandu.
Sejumlah umat Hindu memilih untuk hidup sebagai petapa (Sanyāsa) dalam upaya mencapai "moksa"
atau pun bentuk kesempurnaan spiritual lainnya. Para petapa berkomitmen
untuk hidup sederhana, tidak berhubungan seksual, tidak mencari harta
duniawi, serta berkontemplasi tentang Tuhan.[397] Petapa Hindu disebut sanyasin, sadu, atau swāmi, sedangkan yang wanita disebut sanyāsini.
Orang yang melepaskan diri dari ikatan duniawi memperoleh respek yang
tinggi dalam masyarakat Hindu karena egoisme dan ikatan duniawi yang
mereka lepaskan menjadi inspirasi bagi umat yang masih berkeluarga untuk
berjuang dalam pengendalian pikiran. Beberapa petapa tinggal di tempat suci atau asrama,
sedangkan yang lainnya berkelana dari satu tempat ke tempat lain dengan
keyakinan bahwa hanya Tuhan yang dapat memenuhi keinginan mereka.[398]
Bagi umat Hindu awam, menyediakan makanan dan kebutuhan untuk para
petapa atau sadu merupakan jasa yang sangat besar. Sebaliknya, para sadu
menerimanya dengan rasa hormat dan simpati—tanpa memedulikan orang
miskin atau kaya, baik atau jahat—tanpa perlu memuji, mencela,
menunjukkan rasa senang, atau pun sedih.[397]
Tempat suci
Tempat suci atau tempat peribadatan umat Hindu pada umumnya disebut kuil. Beberapa istilah lokal untuk menyebut tempat suci Hindu meliputi candi, pura, mandir, devasthana, ksetram, dharmakshetram, koil, deula, wat, dan bale keramat. Pembangunan kuil dan tata cara persembahyangan diatur dalam beberapa kitab berbahasa Sanskerta yang disebut Agama, yang berhubungan dengan dewa-dewi individual. Ada perbedaan substansial dalam arsitektur, adat, ritual, dan tradisi mengenai kuil di berbagai wilayah India.[399]
Umat Hindu dapat menyelenggarakan puja
(persembahyangan atau kebaktian) di rumah atau kuil. Untuk peribadatan
di rumah, biasanya umat Hindu membuat kamar suci atau kuil kecil dengan ikon atau altar yang didedikasikan bagi dewa atau dewi tertentu (istadewata), misalnya Kresna, Ganesa, Durga,
dewa-dewi lokal, atau entitas lainnya yang dihormati (misalnya leluhur
atau roh pelindung). Umat Hindu melakukan persembahyangan melalui suatu murti atau pratima, dapat berupa arca, lingga, atau sesuatu lainnya—sebagai lambang dari dewa yang dipuja—yang disakralkan/disucikan terlebih dahulu melalui suatu upacara.
Biasanya, bangunan kuil didedikasikan sebagai tempat pemujaan kepada
suatu dewa utama beserta dewa-dewi sekunder yang terkait. Adapula
bangunan kuil yang didedikasikan untuk beberapa dewa sekaligus. Bagi
sebagian besar umat Hindu di India, mengunjungi kuil bukanlah suatu
kewajiban,[400] dan banyak umat yang mengunjungi kuil hanya pada saat ada perayaan/hari raya. Murti atau pratima dalam kuil berperan sebagai medium antara umat dan Tuhan.[401]
Pencitraan murti dianggap sebagai perwakilan atau manifestasi dari
Tuhan, sebab umat Hindu meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana. Meskipun
demikian, ada golongan umat Hindu yang tidak melakukan persembahyangan
dengan murti dalam bentuk apa pun; contoh yang terkemuka adalah aliran Arya Samaj.
-
Akshardham, pemegang rekor Guiness sebagai kuil Hindu terbesar di dunia,[402] terletak di New Delhi, India.
-
Angkor Wat di Kamboja, dibangun oleh Suryavarman II pada abad ke-12, merupakan kuil Hindu terluas di dunia.
-
Kuil Brihadiswara yang termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, terletak di Thanjavur, negara bagian Tamil Nadu, India.
-
-
Kuil Siwa-Parwati di Lapangan Durbar, Kathmandu, Nepal. Di belakangnya (berjajar) Kuil Taleju, Kuil Degutale, dan Kuil Bhagawati.
-
Belur Math di Kolkata, Benggala Barat, India. Kuil ini didirikan oleh Swami Vivekananda dari Misi Ramakrishna.
-
-
-
-
-
Simbolisme
Dalam agama Hindu ada aturan tentang simbolisme dan ikonografi untuk
ditampilkan dalam karya seni, arsitektur, dan pustaka yang disakralkan.
Makna simbol-simbol tersebut dicantumkan dalam kitab suci, mitologi,
serta tradisi masyarakat. Suku kata om (yang melambangkan Parabrahman) dan swastika
(yang melambangkan keberuntungan) telah berkembang (dalam sejarahnya)
sebagai lambang bagi agama Hindu, sedangkan petanda lainnya seperti tilaka memberi ciri mengenai aliran atau kepercayaan yang dianut. Umat Hindu juga menyangkutpautkan beberapa simbol—meliputi bunga teratai (padma), cakra, dan veena—dengan dewa-dewi tertentu.
-
"Om" yang ditulis dalam aksara Dewanagari.
-
Swastika dalam agama Hindu.
-
Trisula, lambang Siwa dan pengikutnya.
-
Padma, simbol kemurnian dan ketidakterikatan.
-
Lingga, simbol kesuburan.
-
Anjali-mudra (persatuan telapak tangan) dalam sikap namaskara.
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar